Powered By Blogger

Rabu, 28 September 2011

IDEOLOGISASI IPNU


Oleh : Intan Hidayat[1]

Ideologi[2] sebagai pandangan hidup berbeda dengan agama. Ideologi bersumber dari hasil perenungan dan pemikiran yang mendalam seorang manusia sedangkan agama bersumber dari Allah Tuhan Yang Maha Esa untuk menjadi pedoman hidup manusia. Demikian kompleksnya hal-hal yang terkandung dalam suatu ideologi, sehingga mempengaruhi watak tingkah laku penganutnya sehari-hari.
Dalam organisasi, ideologi merupakan hal yang sangat penting, sebab dari ideologi itulah nantinya seseorang akan dapat merumuskan strategi perjuangan serta progam-progam apa saja yang semestinya dicanangkan. Tanpa ideologi, keberadaan suatu organisasi tak ubahnya seperti kendaraan yang melaju tanpa mengetahui arah serta tujuan yang akan dicapainya.

Ideologi Aswaja
IPNU-IPPNU sebagai oragnisasi sayap NU (Banom), secara ideologi tentunya mengikuti organ induknya, yaitu Nahdlatul Ulama’. Hal ini dikarenakan keberadaan IPNU-IPPNU itu sendiri adalah untuk mengawal serta menjaring kader-kader muda NU yang umumnya tersebar diberbagai tempat, di sekolah, pesantren, kampus dan juga di pelosok-pelosok desa. Kader-kader muda inilah yang nantinya akan meneruskan estafet kepemimpinan NU di masa depan.
Ideologi IPNU-IPPNU adalah ideologi Aswaja (Ahlussunnah wal Jama’ah) yang sering dikonotasikan sebagai ajaran (mazhab) dalam Islam yang berkaitan dengan konsep 'aqidah, syari'ah dan tasawuf dengan karakter moderat (tawassuth), seimbang/proposional (tawazun) dan toleran (tasamuh). Salah satu ciri intrinsik paham ini -sebagai identitas- ialah keseimbangan pada dalil naqliyah dan 'aqliyah. Keseimbangan demikian memungkinkan adanya sikap akomodatif atas perubahan-perubahan yang berkembang dalam masyarakat, sepanjang tidak bertentangan secara prinsipil dengan nash-nash formal. Ekstrimitas penggunaan rasio tanpa terikat pada pertimbangan naqliyah, tidak dikenal dalam paham ini. Akan tetapi ia juga tidak secara apriori menggunakan norma naqliyah tanpa interpretasi rasional dan kontekstual, atas dasar kemaslahatan atau kemafsadahan yang dipertimbangkan secara matang.
Aswaja sebagai ideologi IPNU-IPPNU, memposisikan agama (Islam) secara seimbang (tawazun). Agama tidak hanya diposisikan sebagai institusi pelayanan terhadap otoritas Tuhan (teosentris) yang dijauhkan dari orientasi pelayanan terhadap manusia (antroposentris). Tidak pula sebaliknya, agama hanya diposisikan sebagai institusi sosial yang membatasi perhatiannya pada pelayanan sosial dengan mengabaikan dimensi ketuhanan. Dalam konteks ini, IPNU-IPPNU mempunyai pandangan bahwa agama disamping sebagai institusi ketuhanan, ia juga merupakan institusi sosial yang keduanya ibarat dua mata uang yang tidak dapat saling dipisahkan, atau dipilih salah satu darinya dengan membuang yang lain.

Ruang Lingkup Perjuangan IPNU-IPPNU
Dengan corak ideologi yang (pelestarian tradisi NU) sebagaimana yang sementara ini dipersepsikan sebagian kalangan. Lebih dari itu, lingkup perjuangan IPNU-IPPNU pada dasarnya juga meliputi hal-hal yang bersentuhan langsung dengan realita sosial, baik yang berkenaan dengan masalah sosial itu sendiri ataupun masalah-masalah kebangsaan lainnya. Hanya saja sebagai organisasi kepemudaan yang berada dalam naungan NU, IPNU-IPPNU lebih menfokuskan perhatiannya pada masalah-masalah ke “pelajaran” dengan asumsi bahwa para pelajar itulah yang nantinya akan mengendalikan serta menentukan nasib bangsa ini untuk masa yang akan datang.
Baik buruknya bangsa ini erat kaitannya dengan kondisi riil para pelajar saat ini. Karena itu, keberadaan mereka harus senantiasa mendapatkan pengawalan, baik melalui pendekatan struktural organisasi maupun pendekatan-pendekatan yang bersifat kultural.
IPNU-IPPNU sebagai badan otonom termuda NU yang menjadi wadah bagi pelajar, remaja dan santri NU, memiliki jargon belajar, berjuang dan bertaqwa. Jargon ini sebenarnya merupakan simplifikasi dari visi besar IPNU-IPPNU, yaitu terwujudnya pelajar-pelajar bangsa yang bertaqwa kepada Allah SWT, berakhlakul karimah, menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi, memiliki kesadaran dan tanggung jawab terhadap terwujudnya tatanan masyarakat yang berkeadilan dan demokratis atas dasar ajaran Ahlussunnah Wal Jamaah. Visi besar IPNU-IPPNU tersebut menjelaskan pada kita bahwa ada 3 hal yang sebenarnya menjadi bidikan utama dari ruang gerak IPNU-IPPNU, yaitu visi kepelajaran, visi sosial kebangsaan dan visi keislaman.
Dengan 3 visi itulah, IPNU-IPPNU bertekad dan selalu berusaha menjadi organisasi kepemudaan yang senantiasa menjadi garda depan bagi NU, khususnya di wilayah pengkaderan dan pengawalan nilai perjuangan NU yakni Islam ala ahlussunah wal jama’ah, guna membendung pengaruh dari kalangan yang anti terhadap NU, yaitu mereka yang bangga dengan jargon “bid’ah, kufur dan syirik” nya, dan juga mereka yang lantang menyuarakan jargon “khilafah”nya . Hal tersebut dilakukan IPNU-IPPNU melalui upaya-upaya pemberian kesadaran kepada pelajar-pelajar tentang pemahaman hakikat dari Islam sebagai agama yang rahmat bagi semesta. Kemudian upaya-upaya pemakmuran masjid dan musholla dengan mengaktifkan kegiatan tradisi ke-NU-an (Yasinan, Shalawatan dan Ratiban), agar tidak ada lagi kasus perebutan musholla ataupun masjid NU sebagaimana yang sering diberitakan.
Ikhtiar lain yang juga dilakukan oleh IPNU-IPPNU dalam merealisasikan visinya ialah pemberian kesadaran pada santri-santri pesantren tentang kaidah-kaidah interkoneksitas antara ilmu agama dan ilmu umum. Hal tersebut sesuai dengan apa yang telah disampaikan oleh KH. Wahab Hasbullah pada IPNU (termasuk juga IPPNU). Agar IPNU mampu menjadi media penghubung bagi dikotomi (pemisahan) keilmuan yang terjadi antara ilmu agama (Pesantren) dan ilmu umum, agar tercapai suatu keserasian di antaranya. Melalui upaya penyadaran tersebut, diharapkan nantinya akan lahir dari NU generasi-generasi yang tidak hanya memiliki bakat (skill) untuk menjadi seorang ustadz atau kiyai, tapi juga memiliki bakat untuk terjun diberbagai bidang dan profesi, baik hukum, kenegaraan, kesehatan dan lain sebagainya. Melalui kolaborasi antara ilmu “agama” dan ilmu “umum” ini juga nantinya diharapkan akan terlahir manusia-manusia yang tidak hanya memilki SDM yang unggul, tapi juga memiliki nilai-nilai relegiusitas tinggi yang teraktualisasikan dalam kehidupan sehari-hari.
Demikian adalah gambaran singkat mengenai lingkup perjuangan serta berbagai ikhtiar yang dilakukan oleh IPNU-IPPNU untuk ikut berperan aktif dalam dunia kepemudaan dan kependidikan di Indonesia, agar IPNU-IPPNU bisa menjadi contoh yang baik bagi generasi muda di masa-masa yang akan datang.
Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama (IPNU) harus mampu merumuskan ideologi yang terkait dengan kepelajaran. Ideologi itu penting keberadaannya sebagai upaya agar organisasi berbasis pelajar NU tersebut mampu merespon persoalan sosial.
Hadir sebagai pembedah buku karya Arief Rohman tersebut, intelektual muda NU yang juga seorang aktivis Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII), selama ini ada “ruang” yang tidak terisi di dalam IPNU. Ia menyebutnya prinsip perjuangan IPNU dalam dunia pelajar. “Ada ruang kosong, apa yang menjadi prinsip perjuangan IPNU dalam dunia kepelajaran, belum ada,” Sehingga, tak bisa disalahkan jika IPNU dewasa ini kurang mampu merespon persoalan-persoalan sosial yang sedang dihadapi masyarakat. “Misalkan masalah komersialisasi dan mahalnya biaya pendidikan di Indonesia, IPNU tidak punya respon,” ungkapnya.
Mustafied tak menyangkal bahwa IPNU juga memiliki ideologi. Namun demikian, ideologi itu dikritiknya karena dinilai masih terlalu normatif. “Ideologi IPNU itu masih terlalu normatif, sama seperti (ideologinya) Ansor, NU sendiri, dan lain-lain,”
Oleh karena itu, imbuhnya, sebuah keniscayaan jika IPNU masih tetap ingin eksis, maka harus ada perumusan kembali ideologi tersebut agar bisa melakukan respon terhadap permasalahan sosial.
“Ideologi IPNU yang sudah ada harus di-break down ke arah yang menyentuh pada persoalan kepelajaran. Ibaratnya, bisa nggak kita bilang, kalau ada kader IPNU nggak peduli sama masalah pendidikan, maka dia bukan ‘umat’ IPNU,” terang Mustafied. Jika hal itu tidak bisa dilakukan, maka percuma saja berorganisasi. Menurutnya, berorganisasi dengan pola seperti itu tidak lebih dari sekedar menjalankan rutinitas semata. Namun demikian, penulis mensyaratkan perumusan kembali ideologi IPNU tersebut harus melalui kajian yang mendalam, tidak hanya kajian teks, tapi juga kajian historis (sejarah). Hal itu, katanya, penting dilakukan agar upaya tersebut tidak terjebak dalam kungkungan teks yang kaku.
Salah satu hal yang juga menjadi perhatian penulis adalah munculnya kecenderungan gerakan pemikiran dari para kaum muda NU, termasuk IPNU yang mengarah pada tiga hal, yakni gerakan pemikiran yang bersifat liberalistik, sosialistik dan gaya Islam pasca-kolonial.
IPNU-IPPNU adalah organisasi pelajar yang sejak kelahirannya disiapkan sebagai wadah kaderisasi Nahdlatul Ulama (NU). Karena itulah agenda kaderisasi menjadi "titik tempur" utama. IPNU-IPPNU masa depan harus dapat melahirkan kader-kader yang tidak hanya tangguh secara intelektual dan memiliki keunggulan akhlaq serta terampil berorganisasi, melainkan juga siap tempur di medan peradaban yang makin kompleks.
Tentu untuk merealisasikan itu, hal pertama yang mesti kita lakukan adalah penguatan kelembagaan organisasi. Tak dipungkiri, masa transisi yang kini tengah dijalani memberikan konsekuensi yang tidak sedikit dalam ranah keorganisasian. Konseptualisasi IPNU-IPPNU setelah kembali ke pelajar belum selesai. "Bagaimana IPNU-IPPNU menunaikan tugasnya sebagai organisasi pelajar?" adalah pertanyaan fundamental yang mesti segera dicari jawabannya. Ada beberapa tawaran yang dapat penulis sampaikan.

Pertama, harus ada iktikad internal untuk melakukan pembenahan organisatoris. Konsekuensi "kembali ke pelajar" adalah mengembalikan basis organisasi ke sekolah dan pesantren. Mengembalikan IPNU-IPPNU ke “kandang”nya (sekolah dan pesantren) menjadi sangat urgen untuk melakukan kaderisasi di kalangan remaja terdidik. Hal ini berangkat dari kesadaran bahwa pelajar adalah “investasi masa depan” bagi NU (dan bangsa). Sementara ada kenyataan bahwa pelajar NU sebagai kekuatan masa depan kini tidak mendapat perhatian yang optimal oleh Nahdlatul Ulama, terutama dalam hal penanaman nilai dan gerakan. Oleh karena itu dibutuhkan organisasi yang secara intensif menjadi wadah aktualisasi bagi pelajar dan santri NU. Akibat tidak adanya perhatian dan pembinaan yang khusus, tidak sedikit kalangan muda terdidik ini yang mengalami “pembusukan” di tengah jalan.
Untuk merealisasikan agenda ini, maka IPNU-IPPNU harus "berekspansi" ke sekolah dan pesantren. Namun tidak cukup dengan begitu saja. Apa yang harus dilakukan setelah masuk sekolah dan pesantren? Masuknya IPNU-IPPNU ke sekolah dan harus disertai dengan tawaran yang “mengiurkan” bagi proses pendewasaan siswa. Di sinilah harus ada revitalisasi peran. Demikian juga di pesantren. Tidak menyelesaikan masalah hanya dengan “berekspansi” ke lembaga pendidikan tradisional itu. Lebih dari sekolah, masuknya IPNU-IPPNU ke pondok pesantren dihadapkan dengan tugas yang cukup berat. Sebagai lembaga pendidikan tertua, pesantren menyimpan potensi besar dalam keilmuan agama. Jika konsep pengembangan keilmuan agama yang ditawarkan IPNU-IPPNU di bawah kualitas pesantren, tentu ia menjadi tidak menarik. Tugas besar lainnya adalah melakukan “perkawinan” intelektual, agar dunia pesantren tidak saja “melek”, melainkan juga terbuka bagi penguasaan keilmuan umum. Hal ini menjadi penting sebagai “alat” pembumian keilmuan agama.
Kedua, dari sini, beranjaklah pada konsekuensi kedua, yaitu membangun gerakan berbasis keilmuan. IPNU-IPPNU mestinya ditempatkan sebagi organ pengkaderan yang menekankan pada penguatan intelektualisme kader. Istilah “pelajar” menjadi ikon sendiri bagai agenda ini. Kegiatan dan aktifitas organisasi mesti dilandasi dengan basis inteletualisme yang tangguh. Peran yang mesti dimainkan, salah satunya ditekankan pada peningkatan wawasan dan potensi keilmuan kadernya. Ini menjadi agenda kultural yang harus terus diperankan. Karena itulah perubahan orientasi gerakan menjadi niscaya dilakukan. Kecenderungan para kader untuk dipolitisasi dan mempolitisasi organisasi akan terbendung oleh orientasi keilmuan ini. Hal ini menjadi makin penting mengingat pendirian IPNU-IPPNU dilatarbelakangi oleh kebutuhan untuk melakukan penguatan keilmuan generasi muda.
Ketiga, sebagai organ pelajar IPNU dan IPPNU tentu tidak hanya berkungkung pada agenda-agenda internal NU. Ia harus disadari sebagai bagian dari gerakan pelajar di Indonesia. Sejak mula kelahirannya IPNU-IPNU memang menjadi bagian tak terpisahkan dari gerakan kaum terpelajar yang mewarisi tradisi perlawanan terhadap kolonialisme, dalam bentuk apapun. Berangkat dari kesadaran inilah sudah saatnya IPNU bersama IPPNU membangun strategi gerakan yang jitu dalam menunaikan amanah kepelajarannya. Salah satu agenda menonjol yang mesti dilakukan adalah advokasi pelajar dan pendidikan.
Secara kultural, advokasi kepelajaran dilakukan dengan melakukan pendampingan terhadap para pelajar dalam menapaki tugasnya sebagai pelajar dan membentenginya dari arus pembusukan. Pada saat yang sama, secara struktural IPNU juga harus melakukan advokasi pendidikan. Agenda ini harus dilakukan karena meskipun “zaman” telah berubah, masih terlalu banyak kebijakan pendidikan kita yang merugikan dan tidak memihak rakyat kecil, dari biaya pendidikan yang melangit sampai yang belakangan sedang ramai adalah Ujian Nasional (UN) yang tidak adil. Orde baru memang telah berlalu, tapi masih terlalu banyak “warisan” yang kita tanggung. Karena itulah berbagai kebijakan yang saat ini sudah tidak populer dan tidak relevan dengan demokratisasi harus dilawan.
 Tentu, “perlawanan” ini dan semua agenda-agenda di atas dilandasi komitmen ideologis yang kuat. Karena itulah penguatan basis ideologi menjadi hal yang tak dapat ditawar lagi. Sebagai bagian integral dari kultur dan struktur NU, segenap gerak langkah dan “ideologi” IPNU-IPPNU harus tetap berada dalam bingkai besar ahl al-sunnah wa al-jama'ah, atau yang kerap disebut dengan "Aswaja".




Orientasi Pengembangan IPNU Kedepan
a.      Penguatan kelembagaan
Ketidak jelasan bidang garap IPNU dalam ranah kaderisasi NU dimulai ketika kongres Jombang memutuskan akronim ‘P’ berubah dari pelajar ke putra. Akan tetapi hal ini tidak dapat disalahkan, karena Orde Baru sebagai jelmaan kekuasaan militer di Indonesia, pada saat itu sedang dalam posisi ‘On Power’ maka kemudian setiap potensi yang dianggap mengganggu akan disingkirkan kalau perlu ditumpas. kebijakan kebijakan yang bernuansa hegemonik mulai diterapkan, termasuk UU no 8 th 1985 tentang keormasan, dilanjutkan munculnya SKB 3 Menteri yang melakukan pelarangan organisasi di tingkat sekolah selain OSIS dan Pramuka.
Deklarasi makasar dan ditetapkannya keputusan di Kongres Surabaya yang menyatakan perubahan nama dari ‘Putra’ ke ‘Pelajar’ merupakan titik balik. Pilihan kembali kepelajar adalah bentuk kesadaran kritis IPNU terhadap kondisi kaderisasi yang ada di tubuh Nahdlatul Ulama dan berbagai problem bangsa kontemporer.
Empat tahun sudah pilihan dijatuhkan, akan tetapi fokus gerakan IPNU belum sepenuhnya terkonsentrasikan didunia pelajar dan santri. Sekali lagi pemakluman yang harus disampaikan untuk kasus ini karena secara utuh pembagian wilayah kaderisasi di NU juga carut marut!!! Bagaimana mungkin dalam rentang usia yang panjang (20 – 29 tahun) dua badan otonom diberi kewajiban melakukan kaderisasi atau malah berebut satu sama lain??? Apalagi oleh dua badan otonom, yang satu ‘pelajar’ dan yang satu ‘pemuda’, aneh bukan?. Dalam bahasa matematika, ‘irisan’ wilayah kaderisasi inilah yang perlu dirapikan.
Memperdebatkan hal diatas memang harus, akan tetapi hasil yang diharapkan tidak bisa dicapai dalam waktu singkat. Sambil menunggu proses, kesadaran akan fungsi organisasi kiranya menjadi solusi atas problem di atas. Ya!!! Mencurahkan seluruh potensi yang ada di organisasi untuk lebih fokus ke pelajar dan santri saya kira pilihan rasional. Disiplin gerak adalah kunci agar dari waktu ke waktu karya yang dilakukan dapat diukur, dievaluasi dan kemudian dicarikan solusi pengembangannya dikemudian hari.
Pembenahan di wilayah administrasi dan manajemen organisasi juga menjadi PR seluruh elemen yang terlibat dikepengurusan IPNU di semua tingkatan. Karena organisasi bekerja dan bergerak berdasarkan catatan administrasi yang ada dan penataan manajemen yang dilakukan. compang camping, semrawut, atau bahkan tidak ada catatan sama sekali, menjadi temuan yang umum ketika kita membuka-buka catatan administrasi yang dilakukan pengurus IPNU. Baik itu data base organisasi, surat masuk, surat keluar, agenda yang sudah dilakukan ataupun agenda yang akan dilakukan, bahkan jumlah anggota yang dimiliki juga tidak dimiliki. Bagaimana mungkin kita mau menyusun program kerja, kurikulum kaderisasi dan strategi pengembangan organisasi yang utuh dan rasional apabila data yang dipakai adalah asumsi atau bahkan palsu.
Kurangnya disiplin gerak dan kacaunya sistem administrasi organisasi memberi dampak pada lemahnya kurikulum kaderisasi, ketidak tertiban tahapan kaderisasi (formal dan non formal ) yang dilakukan dan kacaunya pembagian kerja diantara pengurus, sehingga kemampuan manajemen organisasi bagi pengurus tidak dapat didesain dan diukur lewat proses kaderisasi yang ada dalam organisasi.

b.      Penataan infrastruktur organisasi
Kepengurusan IPNU ada mulai dari Pimpinan Pusat, Pimpinan Wilayah, Pimpinan Cabang, Pimpinan Anak Cabang, dan sampai Pimpinan Ranting dan Komisariat. kondisi dimasing masing daerah dan tingkatan berbeda satu sama lain. Banyak hal yang mempengaruhi kondisi ini, baik itu kultur masyarakatnya, kinerja pengurus, dan dukungan dari stakeholder yang ada (NU, Ansor, Maarif, Pondok Pesantren, Pemerintah daerah setempat dll.)
Globalisasi semakin menenggelamkan semangat kolektif bangsa Indonesia, sehingga kesadaran berorganisasi ditingkat masyarakat juga semakin rendah. Dampak yang muncul bagi IPNU adalah terjadi pasang surut organisasi disemua tingkatan. Langkah yang bisa dilakukan untuk mengantisipasi hal ini adalah :
1.       Melakukan reorganisasi bagi kepengurusan yang sudah habis periodesasinya.
2.       Revitalisasi organisasi di semua tingkatan yang kepengurusannya kurang jalan.
3.       Membentuk kepengurusan IPNU di daerah yang belum terbentuk.
4.       Disiplin pada aturan organisasi
5.       Ketaatan pada instruksi organisasi



c.       Kepemimpinan issue kepelajaran
Sebagai organisasi pelajar, IPNU selama ini belum maksimal memerankan dan mencerminkan sebagai organisasi pelajar. Walaupun di dalam keanggotaan dan kepengurusan banyak yang (maaf) sudah ‘kedaluwarsa’ untuk disebut sebagai pelajar, akan tetapi merumuskan issue strategis ke-pelajar-an dalam setiap nafas kegiatan IPNU yang dibuat adalah keharusan. Hal itu dilakukan untuk senantiasa mengingatkan jatidiri organisasi IPNU sebenarnya.
Tugas terberat sekarang adalah bagaimana disetiap daerah setiap ada persoalan yang berkaitan dengan pelajar, IPNU menjadi organisasi yang pertamakali merespon, atau minimal terlibat dalam merespon persoalan tersebut. Perlu kerja ekstra keras memang, karena kita semua harus sering mengikuti perkembangan informasi, berdiskusi, dan merumuskan solusi alternatif yang bisa kita tawarkan untuk menyelesaikan masalah pelajar yang terjadi di sekitar kita. Semoga !!!.
Hal yang harus segera dilakukan adalah membuat IPNU sebagai organisasi yang memberi pelayanan dan manfaat bagi pelajar, tidak sedikit masalah yang dihadapi oleh pelajar misalnya, keterbatasan sarana belajar, kekurangan biaya sekolah, hilangnya motivasi belajar, masalah antar pelajar maupun antara pelajar dengan guru, antara pelajar dengan lingkungan ataupun dengan orang tua dll. Belum lagi ancaman bagi pelajar yang bersifat jangka panjang, misalnya NARKOBA, Free Sex, perdagangan anak dan pelacuran yang melibatkan pelajar.
Alternatif yang bisa IPNU lakukan antara lain fasilitasi peningkatan prestasii belajar (misalnya kelompok belajar / studi club dan lembaga bimbingan belajar) dan pembentukan kelompok yang bersifat kegemaran (olahraga dan seni). Apabila kita dapat konsisiten dalam kepemimpinan issue pelajar, maka setiap ada pelajar yang memiliki ketertariakan untuk terlibat aktif di organisasi, maka IPNU akan senantiasa menjadi tujuan dan pilihan utama bagi pelajar untuk bergabung.

d.      Pengembangan di remaja masjid
Globalisasi merupakan edisi baru ekspansi modal internasional ke seluruh pelosok bumi. Apapun akan dipakai untuk satu tujuan yaitu keuntungan sebesar besarnya bagi perusahaan internasional (Trans National Corporation / Multinational Corporation). Indonesia dengan potensi sumberdaya alam dan pangsa pasar yang sangat besar (jumlah penduduk 200 juta lebih), menjadi wilayah strategis untuk dijadikan ’ajang pertarungan’ bagi modal Internasional.
Menggelola remaja masjid sebagai basis organisasi IPNU di tingkat ranting juga sebagai pilihan strategi ketika kita memutuskan kembali ke Pelajar, akan tetapi secara Infrastruktur kaderisasi (guru, kurikulum, strategi) yang kita miliki untuk masuk ke sekolah terutama sekolah umum belum memadai dan masih kalah jauh dibandingkan dengan organisasi lain (PII, IRM, dan KAPPI). Pelajar atau remaja akan tertarik pada suatu kegiatan atau aktifitas apabila kegiatan tersebut memberi kontribusi bagi pengembangan dirinya, memberi tantangan, menyenangkan, dan variatif. Tantangan kita sekarang adalah bagaimana kita mampu menjadikan organisasi remaja masjid menjadi organisasi yang menarik bagi setiap remaja Islam yang ada di sekitar masjid. Sanggupkah???
Untuk merealisasikan agenda ini, maka IPNU harus "berekspansi' ke sekolah dan pesantren. Namun tidak cukup dengan begitu saja. Apa yang harus dilakukan setelah masuk sekolah dan pesantren? Masuknya IPNU ke sekolah dan harus disertai dengan tawaran yang "menggiurkan" bagi proses pendewasaan siswa. Di sinilah harus ada revitalisasi peran.
Demikian juga di pesantren. Tidak menyelesaikan masalah hanya dengan "berekspansi" ke lembaga pendidikan tradisional itu. Lebih dari sekolah, masuknya IPNU ke pondok pesantren dihadapkan dengan tugas yang cukup berat. Sebagai lembaga pendidikan tertua, pesantren menyimpan potensi besar bagi keilmuan agama. Jika konsep pengembangan keilmuan agama yang ditawarkan IPNU di bawah kualitas pesantren, tentu ia menjadi tidak menarik.
Dari sinilah harapan IPNU menjadi organisasi gerakan pelajar menjadi mungkin. Tanpa kekuatan ideologi yang dimilikinya, mustahil sebuah gerakan bisa dilakukan dengan baik. Ikhtiar membangun masa depan IPNU yang visioner, menurut penulis, mesti diawali dengan penguatan basis idelogis yang kokoh. IPNU yang diharapkan menjadi organ pelajar yang penting dalam konstelasi gerakan pelajar di Indonesia sangat mungkin melakukan hal itu. Sebagaimana NU yang telah memiliki pengakuan dan reputasi yang besar, sebagai anak kandungnya IPNU wajib meneruskannya dengan menyelamatkan tradisi dan menancapkan ideloginya di tengah perubahan masyarakat yang dahsyat ini. Penguatan basis idelogis ini akan membuat kerja-kerja IPNU baik dalam ranah pengembangan organisasi, pengaderan, advokasi, maupun tugas-tugas kultural lain, akan mungkin dilakukan. Setelah basis idelogis ini dikuatkan, tugas selanjutnya adalah merancang kerja-kerja peradaban yang lebih luas.


Salam Pelajar………………..!!!!!!!!!
Semoga Sukses Selalu,,, Amiennnn…………



[1] Mahasiswa Fak. Dakwah IAIN Walisongo Semarang & Ketua Umum PAC IPNU Kec. Pemalang Masa Khidmat 2011-2013
[2] Sering diartikan sebagai pandangan hidup atau seperangkat nilai-nilai yang diyakini kebenarannya dan karenanya ia diposisikan sebagai pijakan dalam mengambil sikap dan keputusan. Menurut Kiai Ahmad Shiddiq, ada berbagai rumusan tentang ideologi. Pada pokonya ideologi diartikan sebagai hal-hal yang berhubungan dengan cita-cita (filsafatnya, progam perjuangannya, taktik strateginya, sasarannya dan lain-lain).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar