Powered By Blogger

Sabtu, 22 Oktober 2011

Tata Cara Pergaulan

Tata cara pergaulan remaja yang dilandasi nilai-nilai moral dan ajaran islam. Tata cara tersebut hendaknya dijadikan pedoman bagi remaja dalam bergaul dengan teman-temannya.
 
Tata Cara Pergaulan Remaja
Semua agama dan tradisi telah mengatur tata cara pergaulan remaja. Ajaran islam sebagai pedoman hidup umatnya, juga telah mengatur tata cara pergaulan remaja yang dilandasi nilai-nilai agama. Tata cara itu meliputi :
a. Mengucapkan Salam
Ucapan salam ketika bertemu dengan teman atau orang lain sesama muslim, ucapan salam adalah do’a. Berarti dengan ucapan salam kita telah mendoakan teman tersebut.

b. Meminta Izin
Meminta izin di sini dalam artian kita tidak boleh meremehkan hak-hak atau milik teman apabila kita hendak menggunakan barang milik teman maka kita harus meminta izin terlebih dahulu

c. Menghormati orang yang lebih tua dan menyayangi yang lebih muda
Remaja sebagai orang yang lebih muda sebaiknya menghormati yang lebih tua dan mengambil pelajaran dari hidup mereka. Selain itu, remaja juga harus menyayangi kepada adik yang lebih muda darinya, dan yang paling penting adalah memberikan tuntunan dan bimbingan kepada mereka ke jalan yang benar dan penuh kasih sayang.

d. Bersikap santun dan tidak sombong
Dalam bergaul, penekanan perilaku yang baik sangat ditekankan agar teman bisa merasa nyaman berteman dengan kita. Kemudian sikap dasar remaja yang biasanya ingin terlihat lebih dari temannya sungguh tidak diterapkan dalam islam bahkan sombong merupakan sifat tercela yang dibenci Allah.

e. Berbicara dengan perkataan yang sopan
Islam mengajarkan bahwa bila kita berkata, utamakanlah perkataan yang bermanfaat, dengan suara yang lembut, dengan gaya yang wajar .

f. Tidak boleh saling menghina
Menghina / mengumpat hukumnya dilarang dalam islam sehingga dalam pergaulan sebaiknya hindari saling menghina di antara teman.

g. Tak boleh saling membenci dan iri hati
Rasa iri akan berdampak dapat berkembang menjadi kebencian yang pada akhirnya mengakibatkan putusnya hubungan baik di antara teman. Iri hati merupakan penyakit hati yang membuat hati kita dapat merasakan ketenangan serta merupakan sifat tercela baik di hadapan Allah dan manusia.

h. Mengisi waktu luang dengan kegiatan yang bermanfaat
Masa remaja sebaiknya dipergunakan untuk kegiatan-kegiatan yang positif dan bermanfaat remaja harus membagi waktunya efisien mungkin, dengan cara membagi waktu menjadi 3 bagian yaitu : sepertiga untuk beribadah kepada Allah, sepertiga untuk dirinya dan sepertiga lagi untuk orang lain.

i. Mengajak untuk berbuat kebaikan
Orang yang memberi petunjuk kepada teman ke jalan yang benar akan mendapatkan pahala seperti teman yang melakukan kebaikan itu, dan ajakan untuk berbuat kebajikan merupakan suatu bentuk kasih sayang terhadap teman.

Senin, 17 Oktober 2011

BIOGRAFI TOKOH-TOKOH HADITS

  1. Biografi Tokoh Al Kutub Al Tis'ah
Sebagaimana diketahui bahwa sanad itu adalah rawi –rawi hadist yang dijadikan sandaran oleh pentahrij hadist dalam mengemukakan suatu matan hadist, nilai suatu hadist sangat dipengaruhi oleh: hal – hal., sifat-sifat, tingkah laku, biografi, mazhab-mazhab yang dianutnya dan cara menerima dan menyampaikan hadist dari para rawi.
Salah satu cabang ilmu rijalul hadist adalah ilmu tawarihir ruwah yang membahas tentang kapan dan dimana seorang rawi itu dilahirkan, dari siapa ia menerima hadits, siapa orang yang pernah mengambil hadist dari padanya, dan akhirnya diterangkan pula kapan dan dimana ia wafat.
Berikut ini sekilas biografi tentang tokoh al kutub al tis'ah yang meliputi : Imam al Bukhori, Imam Muslim, Imam Abu Dawud, Imam at-Tirmidzi, Imam an-Nasa’i, Imam Ibnu Majah, Imam Malik, imam Hakim, dan Imam al Darimi.
1.      Imam Al Bukhari ( 194-252 H/810-870 M )
a.       Riwayat Hidup Imam Al Bukhari
Nama lengkapnya adalah Abu Abdillah Muhammad bin Ismail bin Ibrahim bin Almughroh bin Al Bardizbah Al bukhoro, adalah ulama’ hadist yang sangat masyhur, kelahiran Bukhara, suatu kota di Uzbekistan, wilayah uni soviet, yang merupakan simpang jalan antara rusia, Persi, Hindia, dan Tiongkok.[1]
Beliau dilahirkan setelah selesai sholat jum’at pada tanggal 13 syawal 194 h (810 M). seorang muhaditsin yang jarang tandingannya ini, sangat wara’, sedikit makan, banyak membaca al-Qur’an baik siang maupun malam, serta gemar berbuat kebajikan kepada murid-muridnya. Ayahnya adalah seorang ulama’ hadist yang pernah belajar dibawah bimbingan sejumlah tokoh termasyhur sat itu seperti Anas bin Malik, Hammad ibnu Zaid, dan ibnu Mubarak.[2]
Imam Al-Bukhori wafat pada malam sabtu selesai sholat isya’, tepatnya pada malam Idul fithri tahun 252 h (870 M) dan dikebumikan di Khirtank, Samarkand.
b.      Karya-karya imam al bukhori
karya-karya beliau banyak sekali, diantaranya :
1)      Al Jami’ah Musnad Al Shohih Al Mukhtashar Min Umur Rasulillah Wa Sunanih Wa Ayyamihi yang biasa di sebut “Shahih Bukhori”. yakni kumpulan hadist – hadist yang beliau persiapkan selama 16 tahun lamanya. Kitab ini berisikan hadist–hadist shahih secara keseluruhan.  
Banyak ulama’ yang membuat syarah dari shohih Bukhori antara lain :[3]
a)      Ibnu hajar ( w. 856 H ) mengarang Fathul Bari
b)      Al Ayni Al hanafi (wafat 855 H ) mengarang Umdah al Qari’
c)      Qasthalani ( wafat 923 H ) mengarang Irsyad Al syari’
d)      Jalaluddin al suyuthi ( wafat 911 H ) mengarang At Tausyih
2)      Qadhaya Al Shohabah Wa At Tabi’in. kitab ini disusun ketika berusia 18 tahun, dan sekarang tidak diketahui keberadaannya.
3)      Al Tarikhu Al Kabir ( 8 jilid ) yang  telah terbit tiga kali
4)      Al Tarikhu Al Autsah
5)      Al Adabu Al Munfarid, Birru Al Walidain, dan sebagainya.
c.       Perhatian beliau terhadap ilmu hadist
Disaat usianya beliau belum mencapai sepuluh tahun, Imam Al Bukhori telah mulai belajar hadist, sehingga tidak mengherankan ketika berusia 16 tahun telah hafal matan sekaligus rawi dari beberapa buah kitab karangan ibnu mubarak dan waqi’.[4] Beliau merantau ke negeri syam, mesir, jazirah arab sampai dua kali, ke Bashrah empat kali, ke hijaz bermukim enam tahun, dan pergi ke Baghdad bersama ahli para hadist yang lain sampai 8 kali. Menurut pengakuannya,  kitab hadist yang ditulisnya membutuhkan jumlah guru tidak kurang dari 1.080 orang guru hadist.[5]
Beliau telah memperoleh hadist dari beberapa hafidh, antara lain: Maky bin Ibrahim, Abdullah bin Usman Al Mawarzy, Abdullah bin Musa, Abu Ashim Asy syaibani, dan Muhammad bin Abdullah Al Anshori. Ulama’-. ulama’ besar yang mengambil hadist dari beliau antara lain : Imam Muslim, Abu Zur’ah, At-Turmudzi, Ibnu Khuzaimah dan An-Nasa’i.
2.      Imam Muslim ( 204 – 216 H/820-875 M)
a.       Riwayat Hidup Imam Muslim
Nama lengkap beliau adalah Abu Al Husain Muslim bin Al Hajaj bin Muslim bin Kausaz Al Qusyairi Al Naisaburi. Beliau dinisbatkan kepada Naisaburi karena dilahirkan di Naisabur, Iran. Ia dilahirkan pada tahun 204 H ( 820 M ) dan wafat pada hari ahad bulan rajab tahun 261 H ( 875 M ) dan dimakamkan di Naisabur.
b.      Perhatian beliau terhadap ilmu hadist
Imam Muslim belajar hadist pada usia kurang lebih 12 tahun yaitu pada tahun 218 H (833 M ). Beliau pernah pergi ke hijaz, irak, syam, mesir dan tempat-tempat lain untuk memperdalam tentang ilmu hadist.
Ulama’- ulama’ besar yang pernah berguru kepada beliau seperti : Abu Hatim, Musa bin Haran, Abu Isa At-Tirmidzi, Yahya ibnu Said, ibnu Khuzaimah, Awwanah, dan Ahmad ibnu Al Mubarak.
c.       Karya-karya imam muslim
Diantara karya-karya beliau adalah :
1)      Shahih Muslim, kitab ini berisikan sebanyak 7.273 buah hadist, termasuk yang diulang-ulang, kalau dikurangi yang diulang maka tinggal 4.000 buah hadist. Kitab sahih muslim ini yang paling terkenal. Diantara sekian kitab yang memberi syarah terhadap kitab itu adalah Imam Nawawi ( wafat 672 H ), yang diberi judul al manhaj fi syarh shahih muslim ibnu hajaj.
2)      Musnadul Kabir, kitab yang menerangkan tentang nama-nama Rijalul hadist
3)      al Jami’ul Kabir
4)      Kitabul I’lal wa kitabu auhamil muhaditsin
5)      Kitabut tamyiz, kitabu man laisa lahu illa rawin wahidun, kitab al thabaqat al thabi’in dan kitab muhadhoromin.
3.      Imam Abu Dawud ( 202-275 H/ 817-889 M)
a.       Riwayat Hidup Imam Abu Dawud
Nama lengkap beliau adalah Abu Dawud Sulaiman bin Asy’ats bin Ishaq As Sijistany. Beliau dinisbatkan kepada tempat kelahirannya yaitu di Sijistan ( antara Iran dan Afghanistan ). Beliau dilahirkan pada tajhun 202 H ( 817 M) dan wafat pada tahun 275 H ( 889 M ) di Bashrah, Irak.
b.      perhatian beliau terhadap ilmu hadist
Beliau merantau mengelilingi negeri-negeri tetangga untuk mencari hadist dan ilmu-ilmu hadist yang lain .kemudian mengumpulkan, menyusun, dan menulis hadist-hadist yang telah diterima dari ulama’-ulama’ Iraq, Khurasan, Syam, dan mesir.
c.       karya-karya imam abu dawud
Diantara karya-karya beliau adalah : sunan Abu Dawud, karyanya yang terbesar dan berfaedah bagi mujtahid,  al Marasil, masail Imam Ahmad, al Zuhd, Tasmiyah al ikhwan, al Bhats wan Nushur, Ibtida’ al Wahyi dan al Nasikh wal Manksukh.
4.      Imam At-Tirmidzi ( 200-279 H/824-892 M)
a.       Riwayat hidup imam at-tirmidzi
Nama lengkap beliau adalah abu isa Muhammad ibnu isa Ibnu Tsurah ibn musa ibn Dhahak al Sulami al Bughi al tirmidzi. Adalah seorang Muhadits yang lahir di kota Turmudz, kota kecil di pinggir utara sungai Amuderya, sebelah utara Iran.
Beliau dilahirkan di kota Turmudz pada bulab Dzulhijjah 200 H ( 824 M). imam at-tirmidzi dan imam al bukhori adalah satu daerah ma wara’un nahar. Beliau wafat di Turmudz 13 rajab 279 H ( 829 M).

b.      Perhatian terhadap ilmu hadist
Beliau mengambil hadist dari ulama hadist kenamaan, seperti qutaibah ibn sa’id, ishaq ibn musa, dan al bukhori. Mayoritas ulama’ sepakat bahwa pada akhir hayatnya al tirmidzi mengalami kebutaan, akan tetapi apakah kebutaannya itu sejak lahir masih menjadi perselisihan diantara ulama hadist.[6]
c.       Karya-karyanya: Sunan At-Tirmidzi, penulisannya selesai pada tanggal 10 Dzulhijah 270 H. salah satu syarah yang mengomentarinya adalah karangan Abdurrahman Mubarakpuri dengan judul Tuhfat Al Ahwadzi ( 4 jilid ). Tawarih, al I’lal, syamail, al asma’ wal kuna, al atsar al mauqufah,dan al I’lalul kabir.
5.      Imam an-Nasa’i ( 215-303 H/839-915 M)
a.       Riwayat hidup an-Nasa’i
Nama lengkapnya adalah abu Abdirrahman Ahmad bin syu’aib Binbahr. Beliau dilahirkan pada tahun 215 H (839 M) di kota nasa’ yang termasuk wilayah kota khurasan, Iran. Tempat kelahiran beliau inilah namanya dinisbatkan. Di kota Nasa’ inilah beliau tumbuh dan memulai aktifitas pendidikannya dengan memulai menghafal al qur’an dan menerima berbagai disiplin keilmuan  dari guru-gurunya.
Beliau wafat pada hari senin, 13 Shaffar 303 H ( 915 M) di ar Ramlah, palestina. setahun  sebelum wafatnya, ia pindah dari mesir ke Damaskus, Suriah. Di kota ini ia menulis kitab al Khasais Ali ibn Abi Tholib yang berisi keistimewaan ali bin Abi Thalib.[7]
b.      Perhatian beliau terhadap ilmu hadist
Ketika berusia 15 tahun beliau mengadakan perjalanan ke daerah Hijaz, Irak, Syam, Mesir dan daerah-daerah jazirah Arab lainnya untuk mendengarkan dan mempelajari hadist-hadist dari ulama’-ulama’ yang beliau kunjungi.
Setelah menjadi ulama’ hadist, beliau memilih mesir sebagai tempat untuk menyiarkan dan mengajarkan hadist-hadist kepada masyarakat. Menurut sebagian muhaditsin, beliau lebih hafizd daripada imam muslim.
c.       Karya-karyanya
Karya beliau yang utama adalah Sunanul Kubro, yang akhirnya terkenal dengan nama sunan an-nasa’i merupakan kitab yang muncul setelah shohihain yang paling sedikit hadist dhoifnya, tetapi paling banyak perulangannya. Bahkan, hadist tentang niat diulangnya 16 kali. Karya-karyanya yang lain: sunan mujtaba, kitab tamyiz, kitab ad dhuafa, khasais ali, musnad ali, musnad malik, manasik haj, dan tafsir.
6.      Imam Ibnu Majah ( 207-273 H/824-887 M)
a.       Riwayat hidup ibnu majah
Ibnu majah adalah nama yang popular dikalangan umat islam setidaknya setelah beliau menulis hadist dalam kitabnya sunan ibnu majah. Ibnu majah adalah nama nenek moyang yang berasal dari Qazwin, Iran. Nama lengkap beliau adalah abu Abdillah Muhamad ibn Yazid ibn Majah al Rubai’iy al Qazwiny al Hafidz dengan nama Kuniyah Abu Abdillah. Beliau lahir pada tahun 207 H ( 824 M ) dan wafat dalam usia 74 tahun pada tanggal 22 ramadhan 273 H/887 M.
b.      Perhatian beliau terhadap ilmu hadist
Pada usia 15 tahun ia amat senang dengan ilmu hadist. Ibnu majah sempat berguru kepada ali bi Muhammad al Tanafi ( wafat 233 H ) adalah gurunya yang pertama. Ibnu majah adalah seorang petualang keilmuan terbukti dengan banyaknya daerah yang dikunjunginya. Diantaranya : Khurasan, Naisabur, al Ray, dan di kota Baghdad, Kufah, Bashrah, Wasith, Hijaz, Makkah dan madinah, syam : Damaskus dan Hims.
Dari tempat perantauan itu, beliau bertemu dengan murid-murid Imam Malik dan al Laist, dari sinilah beliau banyak memperoleh banyak hadits.
c.       Karya-karyanya
Tidak kurang dari 32 karya ilmiah yang ditelurkan dari ulama’ yang  berdedikasi keilmuan ibnu majah. Adapun karya – karyanya adalah : tafsir al Quran karim, al tarikh, yang sampai saat ini tidak ada kabarnya, tampaknya telah hilang. Kemudian sunan ibnu majah berisikan 4.341 hadist, sebanyak 3.002 telah dibukukan oleh pengarang Al Kitab Al Sittah lainnya, dan 1.339 hadits diriwayatkan oleh beliau sendiri dengan rincian berikut :[8]
a)      428 buah hadist adalah shahih
b)      199 buah hadist adalah hasan
c)      613 buah hadist adalah lemah isnad
d)     99 buah hadits adalah munkar dan makhduzb
7.      Imam Malik Bin Anas ( 93 – 179 H/712-792 M )
a.       Riwayat hidup Imam Malik
Beliau dilahirkan pada tahun 93 H ( 712 M ). Nama lengkapnya abu Abdillah Malik bin Anas bin Malik bin abu amir bin ‘Amr bin al Harits adalah seorang Imam Darul hijrah dan seorang faqih, pemuka madzhab Malikiyah.
Imam malik dilahirkan di kota madinah, dari pasangan Anas bin Malik dan Aliyah binti Surauk, bangsa arab yaman. Ayah beliau bukan Anas bin Malik sahabat nabi, tetapi seorang tabi’in yang tinggal di Zulmarwah, sebelah utara madinah dan bekerja sebagai pembuat panah.[9]
Imam Malik menikah dengan seorang hamba yang dikaruniai  3 anak laki-laki ( Muhammad, Hammad, dan Yahya ) dan seorang anak perempuan ( Fatimah ). Imam Malik wafat pada hari ahad 14 Rabiul awal 179 H (798 M ) di madinah dan dimakamkan di Haqi’.
b.      Perhatian beliau terhadap ilmu hadist
Beliau adalah seorang muhadist yang menjunjung tinggi hadist Rasullullah Saw. Jika hendak memberikan hadist, ia berwudhu’ terlebih dahulu, kemudian duduk di alas sholat dengan tenang dan tawadhu’. Selain ahli hadist, beliau juga ahli fikih. Sehingga seluruh warga hijaz menyebutnya dengan “Sayyidi fuqaha al hijaz “.
c.       Karya-karyanya : Al muwatha’ merupakan karyanya yang sangat gemilang dalam ilmu hadist. Beliau menulisnya pada tahun 144 H atas anjuran Kholifah Ja’far Manshur sewaktu menunaikan ibadah haji. Ulama’-ulama’ yang mensyarah Muwatho’ antara lain :[10]
1)      Ibnu abdil baar, menyusun 2 syarah dengan nama al Tamhid dan al Istidzkar
2)      Abu al walid dengan al Mau’ib
3)      Al Zarqany dan ad Dahlawy dengan nama al musawwa
4)      Al baji, sulaiman ibn Kholaf ( wafat 473 H ) menyusun 2 syarah: Istifa dan Muntaqa berjumlah 7 jilid.
5)      Al Kandahlawy, Muh. Zakaria (1315 H ) menulis Awjaz Al Masalik Syarh Muwatha’ Li Imam Malik.
Adapun karya lainya : Risalah ila ibn wahb fi al qadr, kitab an nujum, risalah fi aqdhiyah, risalah ila abu ghassan, kitab al syiar dan kitab al manasik.
8.      Imam Hakim ( 321 – 405 H )
a.       Sekilas tentang biografi al hakim
Nama lengkap beliau adalah Abdullah Muhammad bin Abdullah bin muhammad bin Hamdun bin Hakam bin Nu’aim bin al Bayyi’ al Dabbi al Tahmani al Naisaburi yang lahir di Naisabur pada hari senin 12 Rabiul Awwal 321 H. ayahnya Abdullah Muhammad bin Hamdun adalah seorang pejuang yang dermawan dan ahli ibadah serta sangat loyal terhadap bani Saman yang menguasai daerah Samaniyah.
Dalam catatan sejarah, daerah Samaniyah pada abad ke-3 H telah melahirkan tokoh-tokoh hadist kenamaan semisal al bukhori, imam muslim, Abu Dawud, al Tirmidzi, al Nasa’i, serta Ibnu Majah.[11]
b.      Perhatiannya dan pemikiran al hakim terhadap ilmu hadist
Dalam perjalanan hidupnya selama 84 tahun, al hakim telah melakukan kiprah yang memberi kontribusi cukup besar dalam bidang hadits melalui karya monumentalnya, al Mustadrak ‘ala al shohihaini. Dalam catatan sejarah, al hakim telah berguru kepada 1000 orang ahli hadist lebih. Ibnu Hiban, al Daruqutni, dan  abu ali an Nasaiburi merupakan guru beliau yang amat ia segani dan mempunyai kedudukan tersendiri di mata beliau disamping karena intensitas pertemuannya dengan al hakim namun karena mereka cukup handal.
Berbeda dengan ulama’-ulama’ sebelumnya ( pasca at-turmudzi ), al hakim tidak mengklasifikasi hadist menjadi sahih, hasan, dan dhoif. Ia justru membagi hadist menjadi 2, yakni hadist shahih dan dhoif, dalam pandangan beliau hadist hasan masuk dalam kategori sahih.[12]
c.       Karya-karyanya
Al hakim merupakan tokoh intelektual muslim abad ke-4 H yang memegang komitmen keilmuannya. Diantara karya-karyanya: Tahrij al sahihaini, tarikh an nasaibur, fadhail imam Syafi’i, fadhail syuyukh, al mustadrak ‘ala al sahihaini, al madhal ila iklil dan sebagainya. diantara karyanya yang terkenal dihadapan kita adalah Al Mustadrak ala al shahihain, al madkhal ila iklil dan ma’rifah fi ‘ulum al hadist

9.      Imam al Darimi ( 181- 225 H )
a.        Biografi Imam Al Darimi
Beliau bernama lengkap Abdurrahman ibn Abdirrahman ibn al Fadhl ibn Bahram ibn Abdish Shamad, kuniyahnya abu Muhammad. Ia juga dinisbatkan kepada Tamimi, yaitu qabilah dimana ia bernaung, juga dinisbatkan dengan al Darimi, yaitu nisbat kepada Darim ibn Malik dari bani Tamim.
Beliau dilahirkan pada tahun 181 H di kota Samarkand, irak. Sejak kecil beliau dikaruniai kecerdasan otak sehingga mudah paham dan hafal setiap apa yang ia dengar.
Beliau wafat pada hari Tarwiyah tahun 255 H, setelah shalat ashar. Ia dikubur pada hari jum’at yang bertepatan dengan hari arafah. Ketika wafat berusia 75 tahun.
b.      Perhatian dan pemikirannya terhadap ilmu hadits
Al Darimi adalah sosok yang gigih dalam mencari hadist dan diakui oleh kebanyakan ulama’ hadist. Salah satu kitabnya yang berjudul “al hadist al musnad al marfu’ wa al mauquf wa al maqthu’ yang beliau susun dengan sistematika bab-bab fikih, sehingga kitab ini popular dengan sebutan “sunan al darimi “.
c.       karya-karyanya
Karya beliau yang popular adalah kitab hadist yang diberi judul “al hadist al musnad al marfu’ wa al mauquf wa al maqthu’ atau yang terkenal dengan sunan al Darimi. Disamping itu al Darimi juga menyusun kitab tafsir dan kitab ensiklopedi (al Jami’). Namun, pada masa kini tidak bisa kita temukan lagi keberadaannya.


  1. Biografi Tokoh-tokoh Hadist Indonesia
Banyak tokoh - tokoh hadist indonesia yang telah banyak berperan penting dalam perkembangan ilmu hadits di Indonesia. Mereka telah banyak memberikan kontribusi terhadap khasanah serta wawasan tentang hadist-hadits yang dipelajari hingga sekarang.
Diantara tokoh –tokoh hadits Indonesia antara lain:  K.H. Hasyim Asy'ari, Prof. M. Quraiysh Shihab, Prof. M. Syuhudi Ismail, A. Hasan Bandung, Prof. T.M. Hasbi Ash- shidieqi,  Syekh  Mahfud At-Tirmisi
1.      K.H Hasyim Asy'ari
a.      Riwayat Hidup KH. Hasyim Asy'ari
Nama lengkap beliau adalah Hasim bin Asy'ari bin Ustman bin Sihan lahir di pondok Nggedang jombang jawa timur ,10 april 1875 adalah pendiri pesantren dan perintis NAHDLATUL ULAMA(NU) salah satu organisasi kemasyarakatan  terbesar di Indonesia, ia di kenal sebagai tokoh pendidikan pembaharu pesantren. Ibunya bernama Halimah binti Raja Brawijaya VI (Embu Peteng), beliau meninggal dunia  pada tanggal 15 Juli 1947 karena pendarahan otak dan di makamkan di Tebuireng .
b.      Perhatian Beliau terhadap ilmu hadist
KH. Hasyim Asy'ari pada tahun 1892 menunaikan ibadah haji  dan menimba ilmu di mekah, Di sana ia berguru pada Syekh Ahmad Khatib  dan Syekh Mahfud At-Tirmisi, gurunya di bidang hadist. hubungannya lebih dekat kepada syeikh Mahfud yang terkenal sebagai seorang isnad (matan rantai penghubung) pengajaran kitab shahih Bukhori yang menyambung pada imam Bukhori .Dari syekh Mahfud itulah Mohammad Hasyim mendapat ijazah untuk mengajar Shahih bukhori dan muslim. sampai akhirnya di kenal ahli hadits.     
c.       karya-karyanya di antara lain : 
1. Risalah Ahlussunnah Waljamaah .

2.      Imam Nawawi
a.       Riwayat hidup Imam Nawawi
Beliau adalah Yahya bin Syaraf bin Hasan bin Husain An-Nawawi Ad-Dimasyqiy, Abu Zakaria. Beliau dilahirkan pada bulan Muharram tahun 631 H di Nawa, sebuah kampung di daerah Dimasyq (Damascus) yang sekarang merupakan ibukota Suriah. Beliau dididik oleh ayah beliau yang terkenal dengan kesalehan dan ketakwaan. Beliau mulai belajar di Katatib (tempat belajar baca tulis untuk anak-anak) dan hafal Al-Quran sebelum menginjak usia baligh.
Ketika berumur sepuluh tahun, Syaikh Yasin bin Yusuf Az-Zarkasyi melihatnya dipaksa bermain oleh teman-teman sebayanya, namun ia menghindar, menolak dan menangis karena paksaan tersebut. Syaikh ini berkata bahwa anak ini diharapkan akan menjadi orang paling pintar dan paling zuhud pada masanya dan bisa memberikan manfaat yang besar kepada umat Islam. Perhatian ayah dan guru beliaupun menjadi semakin besar.
An-Nawawi tinggal di Nawa hingga berusia 18 tahun. Kemudian pada tahun 649 H ia memulai rihlah thalabul ilmi-nya ke Dimasyq dengan menghadiri halaqah–halaqah ilmiah yang diadakan oleh para ulama kota tersebut. Ia tinggal di madrasah Ar-rawahiyyah di dekat Al-Jami’ Al-Umawiy. Jadilah thalabul ilmi sebagai kesibukannya yang utama. Disebutkan bahwa ia menghadiri dua belas halaqah dalam sehari. Ia rajin sekali dan menghafal banyak hal. Ia pun mengungguli teman-temannya yang lain. Ia berkata: “Dan aku menulis segala yang berhubungan dengannya, baik penjelasan kalimat yang sulit maupun pemberian harakat pada kata-kata. Dan Allah telah memberikan barakah dalam waktuku.” [Syadzaratudz Dzahab 5/355].
Diantara syaikh beliau: Abul Baqa’ An-Nablusiy, Abdul Aziz bin Muhammad Al-Ausiy, Abu Ishaq Al-Muradiy, Abul Faraj Ibnu Qudamah Al-Maqdisiy, Ishaq bin Ahmad Al-Maghribiy dan Ibnul Firkah. Dan diantara murid beliau: Ibnul ‘Aththar Asy-Syafi’iy, Abul Hajjaj Al-Mizziy, Ibnun Naqib Asy-Syafi’iy, Abul ‘Abbas Al-Isybiliy dan Ibnu ‘Abdil Hadi.Beliau Wafat pada 24 Rajab 676 H
b.      Peran Dalam Ilmu Hadist.
Pada tahun 651 H ia menunaikan ibadah haji bersama ayahnya, kemudian ia pergi ke Madinah dan menetap disana selama satu setengah bulan lalu kembali ke Dimasyq. Pada tahun 665 H ia mengajar di Darul Hadits Al-Asyrafiyyah (Dimasyq) dan menolak untuk mengambil gaji.
Beliau digelari Muhyiddin (yang menghidupkan agama) dan membenci gelar ini karena tawadhu’ beliau. Disamping itu, agama islam adalah agama yang hidup dan kokoh, tidak memerlukan orang yang menghidupkannya sehingga menjadi hujjah atas orang-orang yang meremehkannya atau meninggalkannya. Diriwayatkan bahwa beliau berkata: ”Aku tidak akan memaafkan orang yang menggelariku Muhyiddin.”
Imam An-Nawawi adalah seorang yang zuhud, wara’ dan bertaqwa. Beliau sederhana, qana’ah dan berwibawa. Beliau menggunakan banyak waktu beliau dalam ketaatan. Sering tidak tidur malam untuk ibadah atau menulis. Beliau juga menegakkan amar ma’ruf nahi munkar, termasuk kepada para penguasa, dengan cara yang telah digariskan Islam. Beliau menulis surat berisi nasehat untuk pemerintah dengan bahasa yang halus sekali. Suatu ketika beliau dipanggil oleh raja Azh-Zhahir Bebris untuk menandatangani sebuah fatwa. Datanglah beliau yang bertubuh kurus dan berpakaian sangat sederhana. Raja pun meremehkannya dan berkata: ”Tandatanganilah fatwa ini!!” Beliau membacanya dan menolak untuk membubuhkan tanda tangan. Raja marah dan berkata: ”Kenapa !?” Beliau menjawab: ”Karena berisi kedhaliman yang nyata.” Raja semakin marah dan berkata: ”Pecat ia dari semua jabatannya!” Para pembantu raja berkata: ”Ia tidak punya jabatan sama sekali.” Raja ingin membunuhnya tapi Allah menghalanginya. Raja ditanya: ”Kenapa tidak engkau bunuh dia padahal sudah bersikap demikian kepada Tuan?” Rajapun menjawab: ”Demi Allah, aku sangat segan padanya.”
c.       karya-karya Imam Nawawi
Imam Nawawi meninggalkan banyak sekali karya ilmiah yang terkenal. Jumlahnya sekitar empat puluh kitab, diantaranya:
1)      Dalam bidang hadits: Arba’in, Riyadhush Shalihin, Al-Minhaj (Syarah Shahih Muslim), At-Taqrib wat Taysir fi Ma’rifat Sunan Al-Basyirin Nadzir.
2)      Dalam bidang fiqih: Minhajuth Thalibin, Raudhatuth Thalibin, Al-Majmu’.
3)      Dalam bidang bahasa: Tahdzibul Asma’ wal Lughat.
4)      Dalam bidang akhlak: At-Tibyan fi Adab Hamalatil Qur’an, Bustanul Arifin, Al-Adzkar.
Kitab-kitab ini dikenal secara luas termasuk oleh orang awam dan memberikan manfaat yang besar sekali untuk umat. Ini semua tidak lain karena taufik dari Allah Ta’ala, kemudian keikhlasan dan kesungguhan beliau dalam berjuang.

1.      Imam Cokroaminoto(Ahmad Khatib)       
a.      Riwayat hidup imam Ahmad Khatib
Ahmad Khatib sering disebut-sebut pelopor gerakan pembaruan Islam pada awal abad ke-20 di Indonesia. Sekurang-kurangnya guru bagi kaum modernis generasi awal Dia memang guru kaum muda angkatan pertama semisal Ahmad Dahlan, Haji Abdul Karim Amrullah, ayah Haji Abdul Malik Karim Amrullah alias Hamka, Muhammad Jamil Jambek dan Haji Abdullah Ahmad. Tapi jangan lupa, Syekh Khatib juga guru Kiai Hasyim Asy’ari, pendiri Nahdlatul Ulama, organisasi yang dicap kolot itu. Paling kurang tradisional, sebagai lawan modernis yang dilekatkan pada Muhammadiyah yang didirikan Kiai Dahlan
Syahdan, generasi pertama kaum muda itu punya minat yang besar dalam perkara yang berkaitan dengan ilmu hisab. Semangat ilmiah yang satu ini sampai sekarang diwarisi oleh para pemimpin Muhammadiyah, terutama dalam perkara penentuan hari lebaran. Ahmad Dahlan dikirim ke Mekkah untuk belajar, sesudah terjadi heboh dengan penetapan kiblat dalam Masjid Agung di Yogyakarta. Ilmu bumi dan ilmu alam merupakan mata pelajaran kegemaran Dahlan muda. Maka, bukan kebetulan di Mekkah beliau berguru kepada Ahmad Khatib, yang juga mementingkan ilmu yang berhubungan dengan menghitung. Syekh Khatib yang dikenal penentang gigih tarekat dan adat Minangkabau dalam perkara hokum waris ini memang punya reputasi sebagai ahli ilmu hitung dan hisab.
b.      Perhatian beliau dalam hadist.
Meskipun kaum muda itu memperoleh pengajaran dari Syekh Khatib, bukan sendirinya harus mengikuti paham guru mereka. Sebetulnya tidak aneh: bukankah Washil ibn ‘Atha memisahkan diri dari gurunya, Abul Hasan Asy’ari? Ahmad Khatib tidak bisa membebaskan dirinya dari tradisi keagamaan bermazhab. Beliau tetap berpegang alias bertaqlid kepada mazhab Syafi’i. Dia memang menyuruh murid-muridnya membaca karangan Muhammad Abduh, tokoh pembaru dari Mesir yang pemikirannya amat berpengaruh pada Dahlan itu. Tetapi hal ini tidak berarti Ahmad Khatib setuju dengan pemikiran-pemikiran Abduh. Rupanya beliau membolehkan murid-muridnya membaca karangan-karangan Abduh, supaya pemikiran-pemikiran pembaharu dari Mesir itu ditolak.
Ahmad Khatib boleh dibilang berasal dari keluarga terkemuka dan dinamis. Dia lahir di Bukittinggi pada tahun 1855. Ayahnya Jaksa Kepala di Padang. Ibunya anak Tuanku nan Renceh, ulama terkemuka dari golongan Paderi. Tidak syak lagi, darah yang mengalir di tubuh Ahmad Khatib berasal dari golongan ulama dan kaum adat. Unsur ulamalah yang kemudian memainkan peranan lebih penting dalam hidupnya, dan kelak bahkan dia menantang beberapa unsur dan kedudukan golongan adat. Ibunya adalah adik ibu Syekh Taher Jalaluddin (1869-1956). Dia juga punya seorang keponakan yang kelak menjadi orang besar di Republik. Namanya Haji Agus Salim.
Pada usia yang masih muda sekali, Ahmad Khatib dibawa ayahnya ke Mekkah dan kemudian bermukim di sana. Perkembangan karirnya di Mekkah digambarkan oleh Hamka sebagai berikut:
“… pada tahun 1296, yaitu setelah 10 tahun dia di Mekkah, karena baik budi dan luas ilmunya dan disayangi orang, beliau disayangi oleh seorang hartawan Mekkah, bernam Syekh Saleh Kurdi, saudagar dan penjual kitab-kitab agama. Syekh Saleh berasal dari keturunan Kurdi dan mazhab orang Kurdi adalah Syafi’i… Oleh karena Syekh Sleh seorang hartawan dan baik hubungannya dengan pihak kerajaan syarif-syarif di Mekkah, maka Ahmad Khatib dikenal oleh istana dan ulama-ulama lain; dan memang sikap budi bahasanya dan keteguhan pribadinya menunjukkan pula bahwa dia seorang yang berdarah dan berbudi bangsawan. Bintangnya cepat naik. Menurut keterangan puteranya Abdul Hamid Al-Khatib, dalam satu jamuan makan berbuka puasa di istana Syarif, ketika Syarif menjadi imam maghrib di sana, ada bacaan yang salah, pemuda Ahmad Khatib yang menjadi makmum dengan serta merta menegur kesalahanitu, sehingga sehabis shalat, Syarif bertanya kepada Syekh Saleh Kurdi, siapa pemuda ini. Setelah diterangkan bahwa itu adalah menantunya, Syarif memuji Syekh Saleh mendapat menantu pemuda yang begitu tampan, manis, alim, dan berani. Inilah yang kelaknya menjadi pintu dia akan diangkat menjadi imam dari golongan Syafi’i di Masjidil Haram dan kemudian ditambah lagi menjadi khatib, merangkap pula menjadi Guru Besar, ulama yang diberi hak mengajar agama di Masjidil Haram.
Menurut Snouck Hurgronje, tugas seorang Imam di Masjidil Haram cukup terbatas: dia adalah hanya anggota dari suatu kelompok orang yang secara bergiliran memimpin salat menurut Mazhab Syafi’i. Memang jarang sekali seorang yang bukan Arab atau orang yang bukna berasal dari Mekkah diangkat menjadi anggota tim ini.
Waktu Snouck Hurgronje bermukim di Mekkah (1884/5), Syekh Ahmad Khatib belum begitu terkenal. Orientalis yang menyamar dengan nama Abdul Ghaffar itu tidak menyebut namanya dalam buku tentang Mekah. Satu dasawarsa kemudian, 1894, dan seterusnya barulah Snouck menulis laporan tentang Syekh Khatib. Bahkan pada tahun 1904 Ahmad Khatib disebut sebagai: “Seorang yang berasal dari Minangkabau, yang oleh orang Jawa di Mekkah dianggap sebagai ulama yang paling berbakat dan berilmu di antara mereka. Semua orang di Indonesia yang naik haji, mengunjungi dia”.
Menurut Haji Agus Salim dalam kuliahnya di Universitas Cornell pada tahun 1953, Syekh Ahmad Khatib tidak mempunyai hubungan yang baik dengan Snouck Hurgronje waktu dia mengunjungi Mekkah. Memang dalam buku Snouck Hurgronje banyak tokoh yang menerima gambaran yang lengkap tetapi Ahmad Khatib tidak, barangkali karena dia masih terlalu muda pada waktu itu. Pada tahun 1905 Snouck Hurgronje dimintai pendapatnya tentang kemungkinan Agus Salim diangkat sebagai pegawai Kedutaan di Jeddah dan Residen Riau pada waktu itu mengemukakan keberatan: “Mungkin Agus Salim akan dipengaruhi oleh pamannya di Mekkah yang begitu fanatik anti adat. Pada waktu itu Snouck Hurgronje tidak melihat bahaya dalam posisi Agus Salim di Jeddah.
Boleh jadi Snouck tidak begitu menyukai Syekh Khatib. Bahkan orang yang pernah menikahi mojang Priangan ini, dan punya anak pula tapi dia tidak mengakui perkawinan dan otomatis anaknya itu di depan hukum Belanda, punya pandangan yang miring terhadap mertua Syekh Khatib. Menurutnya Saleh Kurdi seorang woekeraar, alias rentenir, yaitu orang yang meminjamkan uang dengan bunga yang terlalu tinggi. Lantaran kaya sekali dia pernah menolong Syarif yang sedang kesulitan uang. Dengan begitu dia pun menjadi cukup akrab dengan penguasa Mekkah itu, dan bisa mendapatkan kedudukan terhormat untuk menantunya. Memang pandangan Snouck Hurgronje tentang Ahmad Khatib ini penuh dengan kritik tajam dan fitnah. Kritik ini mungkin didalangi oleh Sayid Usman yang berpolemik dengan dia. Yang pasti, Saleh Kurdi juga aktif di bidang penjualan buku dan penerbitan. Pada tahun 1926 Hamka pernah bekerja di perusahaan percetakannya itu.
Seperti diungkapkan Karel Steenbrink (1984), sesudah Sarekat Islam didirikan pada 1912, Sayid Usman, pegawai pemerintah Hindia Belanda yang bertugas melancarkan pekerjaan Snouck Hurgronje, dan sudah begitu tua waktu itu, masih bersedia mengarang brosur yang menentang organisasi ini. Judulnya Menghentikan Rakyat Biasa dari Bergabung dengan Sarekat Islam. Dalam tulisannya, ulama Betawi ini menuduh Sarekat Islam sebagai kelompok yang tidak Islam sama sekali. Dia juga mencap bahwa Haji Umar Said Cokroaminoto (HOS Tjokroaminoto), pemimpin organisasi ini, “tidaklah hidup sesuai dengan norma-norma Islam” Brosur ini dikirimkan oleh pemerintah kolonial kepada guru-guru agama di Pulau Jawa dan pulau-pulau lain di Indonesia. Dan Ahmad Khatib menolak keras pendapat musuh lamanya itu. Kita ketahui, kelak keponakannya, Haji Agus Salim, bergabung dengan Sarekat Islam dan menjadi orang penting di sini. Salah satu peran terbesar Haji Agus Salim adalah membersihkan organisasi dari anasir komunisme.
Ahmad Khatib memang tidak sekali-dua menyerang Belanda. Dalam berbagai tulisannnya, Ahmad Khatib menyamakan Belanda dengan orang kafir yang mengguncangkan agama islam di hati penganutnya. Dalam bukunya, Dhau as-Siraj pada menyatakan Isra’ dan Mi’raj, yang diterbitkan tahun 1894, ia antara lain menulis:
“Ketahuilah olehmu, bahwasanya hamba, tatkala mendengar daripada ihwal saudara-saudara kita daripada orang Melayu yang telah bernama dengan orang Islam, yang telah bercampur mereka itu dengan orang kafir, sebelum mengetahui ia daripada agamanya lain daripada syahadat saja, dan menyatakanlah orang putih itu padanya syubhat-syubhat pada agama Islam yang ada setengah dari pada syubhat itu mi’raj Nabi kita kepada langit dan menerima pula orang jahil akan demikian syubhat dan memungkiri pulalah ia akan mi’raj Nabi kita, karena mengingat kata gurunya orang kafir itu karena jahilnya dengan hakekat agamanya dan karena buta-butanya daripada ilmu dan karena itu adalah ia kepada barang mana ditariknya oleh orang putih, niscaya tertariklah ia sertanya dan tiada mengetahui ia akan bodohnya. Maka kasihlah hati hamba kepada mereka itu mendengar hal mereka itu, karena telah jadi mereka itu dengan demikian itu murtad, keluar daripada agama Islam dan tiadalah harus bahwa disembahyangkan mereka itu kemudian daripada mati…”
Ahmad Khatib wafat pada tahun 1916 dalam usia sekitar 60 tahun. Pada waktu itu diskusi antara “kaum tua” dan “kaum muda” baru mulai, dan belum jelas juga siapa yang akhirnya akan masuk salah satu golongan. Oleh karena itu tidak mustahil bila dia masih berubah pendapatnya andaikata dikaruniai usia yang lebih panjang
c.       Karangan - Karangannya
Beliau mengarang Raudah al-Hussab fi ‘Ilm al-Hisab, membahas ilmu berhitung dan ilmu ukur, terutama sebagai ilmu bantu untuk hukum Islam, dan Al Jawahir al Naqiyyah fi’l A’mal al Jaibiyyah, berupa pedoman untuk pengetahuan tentang tanggal dan kronologi. Kedua kitab ini diterbitkan di Kairo, masing-masing tahun 1310/1892 dan tahun 1309/1891.
Kita tambahkan, beliau antara lain juga mengarang Kitab Riyadu’i Wardiyah fi-Usulit-Tauhid w’l Furi’il Fiqh”, yang bisa dianggap sebagai pedoman praktis untuk ilmu aqidah dan syari’ah. Dari karangan-karangannya itu, ditambah kitab-kitabnya yang lain, Ahmad Khatib tampaknya tidak mencapai derajat kesarjanaan yang dimiliki oleh Nawawi Banten. Dia mengarang karangan yang lebih sederhana, tetapi karangan yang lebih dekat dengan diskusi sehari-hari, sehingga cukup banyak karangannya yang boleh dianggap sangat relevan. Apalagi sebagian besar karangannya ditulis dalam bahasa Melayu, sehingga merupakan sumbangan dalam mendirikan Khazanah Islam dalam bahasa Indonesia

  1. Prof. Dr. Muhammad Quraish Shihab
a.       Riwayat hidup Prof. Dr. Muhammad Quraish Shihab
Muhammad Quraish Shihab lahir di Rappang, Sulawesi Selatan, pada 16 Februari 1944. Setelah menyelesaikan pendidikan dasarnya di Ujung Pandang, dia melanjutkan pendidikan menengahnya di Malang, sambil "nyantri" di Pondok Pesantren Darul-Hadits Al-Faqihiyyah. Pada 1958, dia berangkat ke Kairo, Mesir, dan diterima di kelas II Tsanawiyyah Al-Azhar. Pada 1967, dia meraih gelar Lc (S-1) pada Fakultas Ushuluddin Jurusan Tafsir dan Hadis Universitas Al-Azhar. Kemudian dia melanjutkan pendidikannya di fakultas yang sama, dan pada 1969 meraih gelar MA untuk spesialisasi bidang Tafsir Al-Quran dengan tesis berjudul Al-I 'jaz Al-Tasyri'iy li Al-Qur an Al-Karim.
Sekembalinya ke Ujung Pandang, Quraish Shihab dipercayakan untuk menjabat Wakil Rektor bidang Akademis dan Kemahasiswaan pada IAIN Alauddin, Ujung Pandang. Selain itu, dia juga diserahi jabatan-jabatan lain, baik di dalam kampus seperti Koordinator Perguruan Tinggi Swasta (Wilayah VII Indonesia Bagian Timur), maupun di luar kampus seperti Pembantu Pimpinan Kepolisian Indonesia Timur dalam bidang pembinaan mental. Selama di Ujung Pandang ini, dia juga sempat melakukan berbagai penelitian; antara lain, penelitian dengan tema "Penerapan Kerukunan Hidup Beragama di Indonesia Timur" (1975) dan "Masalah Wakaf Sulawesi Selatan" (1978).
Pada 1980, Quraish Shihab kembali ke Kairo dan melanjutkan pendidikannya di almamaternya yang lama, Universitas Al-Azhar. Pada 1982, dengan disertasi berjudul Nazhm Al-Durar li Al-Biqa'iy, Tahqiq wa Dirasah, dia berhasil meraih gelar doktor dalam ilmu-ilmu Al-Quran dengan yudisium Summa Cum Laude disertai penghargaan tingkat I (mumtat ma'a martabat al-syaraf al-'ula).
Sekembalinya ke Indonesia, sejak 1984, Quraish Shihab ditugaskan di Fakultas Ushuluddin dan Fakultas Pasca-Sarjana IAIN Syarif Hidayatullah, Jakarta. Selain itu, di luar kampus, dia juga dipercayakan untuk menduduki berbagai jabatan. Antara lain: Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat (sejak 1984); Anggota Lajnah Pentashih Al-Quran Departemen Agama (sejak 1989); Anggota Badan Pertimbangan Pendidikan Nasional (sejak 1989), dan Ketua Lembaga Pengembangan. Dia juga banyak terlibat dalam beberapa organisasi profesional; antara lain: Pengurus Perhimpunan Ilmu-ilmu Syari'ah; Pengurus Konsorsium Ilmu-ilmu Agama Departemen Pendidikan dan Kebudayaan; dan Asisten Ketua Umum Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI).
Di sela-sela segala kesibukannya itu, dia juga terlibat dalam berbagai kegiatan ilmiah di dalam maupun luar negeri. Yang tidak kalah pentingnya, Quraish Shihab juga aktif dalam kegiatan tulis-menulis. Di surat kabar Pelita, pada setiap hari Rabu dia menulis dalam rubrik "Pelita Hati." Dia juga mengasuh rubrik "Tafsir Al-Amanah" dalam majalah dua mingguan yang terbit di Jakarta, Amanah. Selain itu, dia juga tercatat sebagai anggota Dewan Redaksi majalah Ulumul Qur'an dan Mimbar Ulama, keduanya terbit di Jakarta. Selain kontribusinya untuk berbagai buku suntingan dan jurnal-jurnal ilmiah, hingga kini sudah tiga bukunya diterbitkan, yaitu Tafsir Al-Manar, Keistimewaan dan Kelemahannya (Ujung Pandang: IAIN Alauddin, 1984); Filsafat Hukum Islam (Jakarta: Departemen Agama, 1987); dan Mahhota Tuntunan Ilahi (Tafsir Surat Al-Fatihah) (Jakarta: Untagma, 1988).

  1. Imam Hasan Mustapa
a.       Riwayat Imam Hasan Mustapa
Hasan Mustapa, masyarakat Sunda menyebutnya Penghulu Haji Hasan Mustapa, lahir di Cikajang Kabupaten Garut (Jawa Barat) pada tanggal 3 Juni 1852 M., bertepatan dengan 14 Sya’ban (Rewah) 1268 H. Dan, meninggal di Bandung, pada tanggal 13 Januari 1930 M., bertepatan dengan tanggal 12 Sya’ban 1348, dalam usia 80 tahun, atau 78 tahun berdasarkan hitungan tahun Masehi.
Nama Hasan Mustapa, diberikan oleh ayah dan kakeknya. Hasan nama yang diberikan oleh ayahnya, dan Mustapa Nama yang diberikan kakeknya. Ayahnya bernama Mas Sastramanggala (Haji Usman) Camat kontrakan teh Cikajang, Garut. Dan, merupakan keturunan Bupati Parakanmuncang, yaitu Tumenggung Wiratanubaya. Sedangkan ibunya, bernama Nyi Mas Salpah (Emeh), putri Mas Kartapraja, Camat Kontrakan teh Cikajang, dan masih keturunan Dalem Sunan Pagerjaya dari Suci, Garut.
Dengan demikian, berdasarkan silsilah tersebut, baik dari pihak ayah, maupun ibu, merupakan keturunan priayi. Bahkan, menurut silsilah Para Bupati Sukapura, Hasan Mustapa, merupakan keturunan dari para Bupati Sukapura. Terjadi peralihan yang menarik pada jalur kehidupan Hasan Mustapa, yaitu dari tradisi kehidupan kepriayian (sebagai keluarga Camat dan keturunan Bupati Sukapura), ke tradisi kehidupan pesantren. Peralihan ini sebenarnya tidak terlalu aneh bila melihat tradisi Sukapura, yang pada jalur awal para Bupati Sukapura sangat mengindahkan wejangan dari para Kyai, khususnya Syekh Abdul Muhyi. Bahkan salah seorang Bupati Sukapura ini merupakan murid dan anak angkat Syekh Abdul Muhyi Pamijahan, yaitu Subangmanggala, anak kandung Kangjeng Dalem Anggadipa yang dikenal dengan nama Dalem Sawidak.
Melihat silsilah tersebut, maka tampak bahwa tradisi kehidupan pesantren (tradisi keislaman) dan budaya tradisional Sunda, bukanlah hal yang asing bagi Hasan Mustapa. Secara pribadi, tradisi kepesantrenan pada Hasan Mustapa, dimulai tatkala kedua orang tuanya berkeinginan kuat untuk menjadikan anaknya seorang ulama. Diceritakan bahwa kedua orang tuanya melakukan ber-nadzar dan berpuasa sunat Senin-Kamis dan melakukan tirakat selama lima tahun, tanpa henti.
Sejak kecil Hasan Mustapa dididik oleh orang tuanya belajar mengaji dan sembahyang, dan dari ayahnya pertama kali dia mengenal ngaji dan sembahyang. Pada umur tujuh tahun, dia dititipkan pada salah seorang Kyai yang bernama Hasan Basri, dari Kiarakoneng. Kyai Hasan Basri adalah salah seorang ahli Qira’at, dan beliau pernah berpendapat bahwa pelajaran membaca al Qur’an adalah merupakan dasar pelajaran agama. Dari Kyai Hasan Basrilah Hasan Mustapa mulai belajar membaca Al Qur’an dengan baik.
Pada usia 8 tahun Hasan Mustapa pernah dimasukkan ke Sekolah Kabupaten oleh Tuan Holle, dan ayahnya tidak merestui serta memohon kepada Tuan Holle agar anaknya tidak dimasukkan ke sekolah tersebut. Salah satu alasannya karena Hasan Mustapa akan diajak olehnya berziarah ke Tanah Suci (Mekah). Semula Tuan Holle tidak dapat mengabulkan keinginan ayahnya itu, karena Tuan Holle mengharapkan agar Hasan Mustapa dapat bersekolah dengan para putera priyayi lainnya. Tetapi lama-lama Hasan Mustapa diizinkannya pula untuk mengikuti ayahnya berziarah ke Mekah.
Di Mekah dia sempat berguru kepada Syeh Mukri. Dalam waktu yang singkat itu, dia hanya mendapatkan bacaan Fatihah dan Attahiyat serta bahasa Arab sedikit-sedikit. Sekembalinya ke Tanah Air, belajar ngajinya dilanjutkan kembali. Berkat pelajaran yang diterima dari Kyai Hasan Basri, dia sangat hapal akan isi Al Qur’an, sehingga dapat menyebutkan sesuatu ayat di luar kepala.
Setelah itu dia berganti-ganti guru dan tempat mengaji. Mula-mula dia mempelajari dasar-dasar sharaf dan nahwu kepada Rd H. Yahya, seorang pensiunan Penghulu di Garut. Lalu pindah lagi ke tempat yang agak jauh, yaitu ke Tanjungsari, Sumedang, untuk berguru kepada Kyai Abdul Hasan dari Sawahdadap. Dari Kyai Abdul Hasan dia memperoleh pelajaran ilmu sharaf, nahwu, dan fiqh. Dari Sumedang kembali lagi ke Garut untuk berguru kepada Kyai Muhammad, dan Kyai Muhammad Ijrai. Kyai lain yang diduga menjadi gurunya ialah Kyai Abdul Kahar (Surabaya) dan Kyai Halil (Madura), juga kyai Indonesia lain yang berada di Mekah seperti Syekh Nawawi Banten, Abdullah Al-Zawawi, Hasbullah, Syekh Abubakar Al-Satha.
Dalam buku Aji Wiwitan, Hasan Mustapa menyebutkan bahwa ia telah mendalami enam belas macam ilmu, di antaranya adalah: Ushul, Tasawuf dan Tauhid. Dalam bukunya disebutkan pula bahwa ia telah memperdalam ilmunya ke Mekah, antara lain belajar kepada Syeh Muhammad, Syeh Abdulhamid, Syeh Ali Rahbani, Syeh Umar Sani, Syeh Mustomal Afifi, sayid Bakir, dan Sayid Abdul Janawi.
Dari latar belakang pendidikannya dapat disimpulkan bahwa Hasan Mustapa dibesarkan di lingkungan pesantren, dan memperoleh pendewasaan pendidikannya di Mekah. Selama delapan tahun dia bermukim di Mekah, dan baru pulang ke tanah air ketika berusia 30 tahun, pada tahun 1882. Selama 10 tahun di Mekah itu, ia berkenalan dengan Snouck. Selanjutnya kembali ke Garut dalam keadaan ayahnya telah meninggal. Ia tinggal di Garut selama tujuh tahun dan telah dikenal sebagai kyai. Kemudian ia oleh diajak Snouck untuk mengembara ke beberapa tempat dan akhirnya diangkat jadi Penghulu di Aceh, dan kemudian jadi Penghulu di Bandung hingga pensiun.


b.      Perhatiannya dalam hadist
Pada bagian ini akan dikemukakan sejumlah peran sosial Hasan Mustapa dalam masyarakat Sunda secara umum, khususnya masyarakat Muslim Sunda. Peran sosial tersebut meliputi peran Hasan Mustapa dalam pekerjaan resminya sebagai Penghulu Agama pada pemerintahan Belanda, atau di luar pekerjaannya.
Menurut Wangsaatmadja , pada tahun 1882 Hasan Mustapa dipanggil pulang ke Garut oleh R. H. Muhammad Musa, Hoofd Penghulu Garut pada masa itu. Hasan Mustapa diberi tugas untuk meredakan ketegangan-ketegangan di antara para ulama di Garut akibat pertentangan paham di antara mereka.
Selama tujuh tahun Hasan Mustapa memberikan pelajaran agama secara bergiliran siang dan malam, terutama di Mesjid Agung Garut. Tidak sedikit ulama yang sengaja datang untuk berguru kepadanya, dan berkat usahanya dan dibantu oleh R.H. Muhammad Musa dan Holle, bentrokan paham antara para ulama di Garut dapat diredakan.
Ketika itu Hasan Mustapa telah banyak berkenalan dengan para orientalis Belanda, di antaranya Holle, Brandes, Rinkes, dan Snouck Hurgronye. Karena pengetahuannya yang luas tentang masalah agama Islam, pada tahun 1889 Snouck Hurgronye meminta Hasan Mustapa untuk mendampinginya dalam perjalanan keliling Jawa dan Madura. Saat itu, Snouck adalah penasihat pemerintah Belanda tentang masalah-masalah orang Indonesia dan Arab. Catatan perjalanan Snouck itu dimuat dalam BKI nomor 101 tahun 1942 halaman 311-324 dengan judul Aantekeningen over Islam en Volklore in West en Midden Java.
Snouck Hurgronye sebetulnya telah mengenal Hasan Mustapa semenjak masih bermukim di Mekah, dan konon pernah ditolong oleh Hasan Mustapa ketika Snouck akan dibunuh oleh orang-orang Arab. Semenjak itulah Hasan Mustapa menjadi sahabat karibnya, bahkan ketika Snouck pulang ke negerinya, mereka masih tetap berhubungan sampai Hasan Mustapa meninggal.
Selama tujuh tahun Hasan Mustapa menjadi pembantu Snouck Hurgronye, dan pada tahun 1893 atas usul Snouck, Pemerintah Belanda mengangkatnya menjadi Hoofd Penghulu di Aceh.
Menurut penuturan Awak-awak Galih Pakuan, pada waktu itu setiap penghulu yang bertugas di Aceh sering dibunuh orang, karena dianggap tidak dapat berlaku adil di dalam menyelesaikan sesuatu masalah atau persengketaan di antara mereka. Pada masa itu, seorang Hoofd Penghulu di samping menjadi seorang pemuka agama, juga turut memberikan keputusan di dalam masalah hukum dan mereka biasa disebut Kadi.
Di Aceh pada waktu itu, bila seseorang dikalahkan dalam sesuatu perkara, maka orang yang kalah akan bertanya, berdasarkan hukum apa, ayat berapa, ia dianggap bersalah? Bila Kadi tersebut tidak dapat memberikan jawaban yang memuaskan hatinya, maka Kadi itu dianggap berat sebelah, tidak adil, sehingga ada kalanya Kadi itu dibunuh.
Menurut penilaian Pemerintah Belanda, orang yang menjadi Hoofd Penghulu Aceh, haruslah orang yang cerdas, pandai dalam ilmu hukum di samping menguasai ilmu agama secara mendalam. Berdasarkan pendapat Snouck Hurgronye, maka orang yang tepat untuk jabatan tersebut adalah Haji Hasan Mustapa.
Hasan Mustapa bersedia memikul tugas tersebut dengan mengajukan dua syarat:
1)      Ia harus dipercayai sepenuhnya. Segala perkataan, perbuatan, dan tulisan-tulisannya jangan diganggu. Kesanggupan Pemerintahan Belanda memenuhi persyaratan pertama ini harus dinyatakan secara tertulis.
2)      Bila ia telah berhasil dengan tugasnya di Aceh, dan bila nanti ada lowongan Jabatan Hoofd Penghulu Bandung, dia minta agar ditempatkan di Bandung.
Syarat pertama segera dikabulkan dengan keluarnya surat kepercayaan dari Ratu Wihelmina. Tahun 1893 Hasan Mustapa secara resmi diangkat menjadi Hoofd Penghulu di Aceh.
Sebagai Hoofd Penghulu di Aceh, Hasan Mustapa telah menjalankan tugasnya dengan baik. Masyarakat Aceh pun merasa puas atas keputusan-keputusan yang dia berikan dalam persengketaan-persengketaan yang timbul. Hal ini disebabkan dia menguasai dan hapal betul akan hukum-hukum Islam yang menjadi dasar keputusan semua perkara. Dan sebagai tanda terima kasih, rakyat Aceh telah memberikan sebidang tanah kepada dia. Di atas tanah itu, dia membangun sebuah masjid.
Jabatan Hoofd Penghulu Aceh dipegang dalam waktu yang singkat, yaitu dua tahun. Pada tahun 1895 dia kembali ke tanah Priangan untuk memangku jabatan Hoofd Penghulu Bandung. Jabatan Hoofd Penghulu Bandung dilaluinya dalam waktu dua puluh tiga tahun, dan pada tahun 1918 atas permintaan sendiri dia diberhentikan dengan hormat, dan memperoleh hak pensiun. Pada waktu itu usianya kurang lebih 66 tahun.
Menurut Kern, seperti dikutip Tini Kartini, ketika masih bermukim di Mekah Hasan Mustapa telah mengajar ulama-ulama yang berdatangan dari seluruh Jawa. Ia mengajar bahasa Arab dan soal-soal keagamaan. Oleh karena itu ia cukup dikenal dan dihormati oleh ulama-ulama di seluruh Jawa, dan menjadi tempat bertanya serta tempat meminta nasihat bagi penghulu-penghulu Priangan.
Salah satu alasan yang bisa diungkap yang menjadi penyebab Hasan Mustapa meminta berhenti sebelum masa baktinya selesai sebagai pejabat Hoofd Penghulu Bandung, adalah karena hubungannya dengan golongan Kabupaten maupun dengan golongan Kaum tidaklah begitu akrab. Hal itu ditandai, misalnya, ketika sebuah panitia yang bernama “Comite Mendakna Hadji Hasan Moestapa” (Panitia Peringatan Wafatnya Haji Hasan Mustapa) didirikan di Bandung, tak seorang pun dari golongan Kaum yang menjadi anggotanya.
Walaupun Hasan Mustapa disegani dan dikagumi keahliannya, baik dalam bidang agama maupun dalam bidang bahasa dan adat istiadat Sunda, namun kelihatannya mereka mengambil jarak dan tidak terlalu dekat dengannya. Diduga penyebabnya adalah karena sikap dan paham agama mereka.
Sebagai Hoofd Penghulu, Hasan Mustapa adalah pegawai Pemerintah. Walaupun demikian Hasan Mustapa bukanlah pegawai yang mau menaati segala perintah dan kemauan atasannya begitu saja, tanpa memperhitungkan pendapat dan kepribadiannya. Hal ini dapat kita lihat antara lain dari pernyataan-pernyataan yang diajukannya ketika ia akan diangkat menjadi Hoofd Penghulu di Aceh; dan dari penolakannya yang tegas terhadap ajakan Pemerintah Belanda yang menginginkan agar penganut agama Islam diperkenankan pula mempelajari agama Kristen.
Wangsaatmadja dalam Bukunya yang berjudul Singa Bandung (1930:31), secara teperinci telah menguraikan sifat dan sikap hidupnya. Antara lain disebutkan bahwa dia adalah seorang yang memiliki sifat luar biasa. Ketabahan dan kesabarannya dikagumi oleh semua yang mengenalnya. Selain itu ia memiliki firasat dan intuisi yang tajam, hingga tidak jarang ia mengetahui apa yang diinginkan atau yang menjadi pikiran orang lain tanpa diutarakan dahulu kepadanya.
Dia pun dikenal sebagai orang yang teguh pada pendiriannya, serta berani mengemukakan pendapat dan pendiriannya itu kepada siapa pun. Bahkan berani pula ia menentang pendirian dan kehendak atasannya bila menurut pendapatnya tindakan atasannya itu tidak sesuai dengan hati nuraninya. Hal ini dapat dilihat dari penolakannya yang tegas terhadap ajakan pemerintah Belanda ketika itu yang menginginkan agar penganut agama Islam diijinkan pula untuk mempelajari agama Kristen, dan usahanya yang berhasil dalam mengusir rumah makan Cina dari sekeliling Masjid Agung Bandung, karena menurut pendapatnya tidak pantas tempat orang Islam bersembahyang dikeliling bau masakan babi. Tidak jarang pula buah pikiran dan perkataannya mengejutkan Bupati beserta bawahannya, sebab perkataannya itu merupakan sindiran halus yang bermakna dalam.
Dia pun dikenal sebagai seorang putera yang sangat hormat dan berbakti kepada orang tuanya. Di samping itu, ia adalah orang yang sangat pemurah dan pengasih, baik kepada sanak keluarganya sendiri, maupun kepada orang lain bahkan kepada pembantu rumah tangganya.
Sebagai ulama yang luas dan dalam ilmunya, dengan tangan terbuka dan hati yang bersih dia selalu menerima semua orang yang bersungguh-sungguh ingin belajar kepadanya. Namun demikian ia tidak pernah mau dianggap dan disebut guru oleh semua yang datang belajar kepadanya. Menurut pendapatnya agar mereka bertanggung jawab pada dirinya masing-masing, dan supaya bisa mengembangkan dirinya sendiri.
Dari karya-karyanya dapatlah dilihat bahwa dia adalah seorang pribadi yang amat tanggap, perenung yang mendalam dan seorang yang berani mengemukakan pendapatnya sendiri. Hal ini dapat dilihat dari catatan-catatan peristiwa yang sering dicantumkan dalam karya-karyanya, misalnya berlangsung kongres Sarikat Islam di Bandung pada tahun 1916, meninggalnya seorang mufti besar yang berasal dari Mesir dalam kerusuhan di luar kota Mekah pada tahun 1924, sebab-sebab berjangkitnya penyakit kuris yang sering melanda para jemaah haji dari Indonesia, dan banyak lagi . Sedangkan renugan-renungannya dapat dibaca dalam dangding-dangdingnya dan dalam Syeh Nur Jaman.
Dari anekdot-anekdotnya yang telah dihimpun oleh Wangsaatmadja dalam Singa Bandung, dan dari kalimat-kalimat yang sering diselipkan dalam bahasa-bahasanya, dia memiliki rasa humor yang halus, cerdas dan tajam otaknya. Pendapat dan buah pikirannya selalu dilandasi dengan argumentasi yang kuat. Oleh karena itu dia dikagumi dan disegani baik oleh lawan, apa lagi pengagumnya.
Dalam tulisan-tulisannya, dia sering menganjurkan agar selalu sabar dan tawakal, serta memelihara kedamaian dalam hidup bermasyarakat. Sifat dan sikap hidupnya sering pula diungkapkan secara eksplisit dalam karya-karyanya. Misalnya, dalam salah satu karyanya pernah mengungkapkan kata –kata sebagai berikut:
Kaula ayeuna ngawakcakeun jalan karahayuan, yen urang sugria manusa kajajaden taya nu boga. Pusakana nyaah ka sasama, jadi rapih pada sili pihapekeun diri, rumasa pada dadasar sabar tawekal.
Artinya: sekarang saya menjelaskan jalan kesejahteraan, yaitu kita semua yang merupakan manusia ciptaan tidak ada yang memiliki. Azimatnya sayang kepada sesama, damai saling menitipkan diri, merasa berdasar pada sikap sabar-tabah).
Satu lagi contoh sikap hidupnya yang dia ungkapkan dalam buku Syeh nur Jaman (1958: 7), berbunyi seperti berikut:
“Lamun jalma kudu ngagugu kabeh kana kahayang batur, tangtu ripuh nu ngagugu, ngeunah nu digugu. Lamun jalma embung ngagugugu kana kahayang batur, tangtu ripuh nu hayang digugu, ngeunah nu embung ngagugu. Anu matak rapihna lamun silih gugu, satengah jeung satengah, sakadar henteu matak ripuh sala saurang.”
Artinya: Kalau orang harus menurut saja pada kehendak orang lain, pasti susah yang harus menurut, senang yang diturut. Kalau orang tidak mau menuruti kehendak orang lain, pasti susah yang minta diturut, senang yang tidak mau menurut. Oleh karena itu, sebaiknya saling turut, setengah-setengah, agar salah satu pihak tidak rugi

c.       karya-karya hasan mustapa
Selain dikenal sebagai Hoofd Penghulu yang cerdik dan luas pengetahuannya, baik tentang agama maupun tentang kebudayaan Sunda. Dia dikenal juga sebagai pengarang besar yang jumlah dan nilai karyanya besar pula. Karena itu, Hasan Mustapa sangat dikenal di masyarakat Sunda tidak hanya sebagai pegawai pemerintah namun juga sebagai budayawan, terutama di kalangan budayawan. Ia dianggap sebagai bujangga Sunda yang belum ada bandingannya sampai saat ini. Beberapa puisinya yang berbentuk dangding dikenal secara lisan, juga lelucon-leluconnya sering diperbincangkan. Sampai-sampai sikap hidupnya diketahui umum, mungkin bersumber dari seorang penutur, atau dari buku-buku yang sempat beredar, di antaranya buku Bale Bandung, dan Syeh Nurjaman.
Orang menduga bahwa dia mulai mengarang setelah kembali dari Aceh. Sedangkan Wangsaatmadja menyebutkan bahwa ketika masih bermukim di Mekah dia telah menulis buku kecil dalam bahasa Arab berjudul Fathul Muin yang diterbitkan di Mesir. Juga Kern menyebutkan bahwa semasa dia bermukim di Mekah pernah menulis buku-bulu tentang agama dan puisi Arab yang diterbitkan di Kairo.
Berdasarkan karya-karyanya yang dapat dikumpulkan, dapat dikatakan bahwa dia produktif menulis setelah menjadi Hoofd Penghulu Bandung dan setelah menjalani pensiunnya. Bahkan menurut Wangsaatmadja (1930: 17) dua puluh hari sebelum meninggal dia masih menyuruh Wangsaatmadja menuliskan buah pikirannya dalam buku hariannya.
Dari karya-karya yang berhasil dikumpulkan, bahwa karya yang pertama ditulisnya berangka tahun 1899, yakni naskah yang berjudul Aji Wiwitan Gelaran, Buku jilid ka-3, dan yang terakhir adalah Aji Wiwitan Aji Saka II, Buku jilid ka-14 yang menurut Wangsaatmadja merupakan kumpulan perkataannya pada masa akhir hayatnya.
Dalam masa 31 tahun berkarya, terhitung dari tahun 1899 sampai 1930, dia telah menghasilkan berpuluh karya yang berisi buah pikiran, perasaan, dan tanggapannya tentang: Agama, Tasawuf, Filsafat, adat kebiasaan orang Sunda, serta peristiwa-peristiwa yang dialaminya. Yang tercatat dan berhasil dikumpulkan berjumlah 49 buah. Dari seluruh karya-karyanya yang banyak dikagumi dan dibicarakan adalah puisi dangdingnya yang berjumlah kurang lebih 10000 ribu bait.
Sebagai pengarang besar, gaya berpuisi dia banyak ditiru, terutama oleh pengarang-pengarang Sunda setelah perang. Sedang karyanya tentang adat dan kebudayaan Sunda, banyak menarik perhataian orientalis Belanda, sehingga Kern menerjemahkannya ke dalam Bahasa Belanda.
Sebagai pengarang yang banyak menulis masalah-masalah agama dan tasawuf, ia tidak saja dikenal masyarakat Sunda, tetapi dikenal juga oleh ulama dan ahli tarekat Jawa, Madura, bahkan sampai Irak, Mesir dan Kuala Lumpur. Dia juga telah diakui kebesaran dan jasanya oleh pemerintah, sehingga pada tahun 1977 telah dianugerahi Piagam Hadiah Seni oleh Belanda, dan Piagam Penghargaan dari Propinsi Daerah Tingkat I Propinsi Jawa Barat pada tahun 1965.
Setelah menjalani masa pensiun, pada waktu-waktu tertentu dia memberikan pelajaran tentang agama dan tasawuf dalam pertemuan-pertemuan informal. Pertemuan semacam itu kadang-kadang diadakan di rumahnya, kadang-kadang di tempat lain, di rumah seseorang yang berkenan untuk mendengarkan pembicaraannya.
Pertemuan seperti itu oleh ia disebutnya “ngawarung bandung”. Dalam menyampaikan ajaran-ajarannya dia tidak pernah merasa dan tidak mau menggurui. Mereka yang mengikuti pertemuan itu tidak mengakui sebagai muridnya, hanya pengagum saja, sebab menurut pendapatnya bila seseorang berguru kepada orang lain, kepribadian orang itu tidak akan berkembang. Dia menginginkan agar setiap orang bebas mengemukakan dan mencernak segala pendapat dan buah pikirannya secara bebas menurut kemampuannya masing-masing. Oleh karena itu setiap orang yang mengikuti ngawarung bandung sering berbeda dalam menafsir pendapat serta buah pikirannya.
Hal ini dapat dilihat dari beberapa sikap para pengagumnya dalam menafsirkan ajaran-ajarannya. Konon di antara pengagumnya yang terdekat adalah Ajengan Bangkonol, dan Kyai Kurdi dari Singaparna. Dituturkan bahwa Ajengan Bangkonol, setelah mendengar ajaran-ajaran agama dan tasawuf, segera membubarkan pesantrennya dan merobek bedug yang ada di mesjidnya, karena merasa berdosa telah mengajarkan faham agama yang menurut pendapatnya salah. Kemudian Ajengan Bangkonol ini menjadi pengikutnya yang setia.
Lain lagi halnya dengan Kiyai Kurdi, setelah mendengar ajaran-ajaran agama dan tasawuf, pesantrennya malah diperbesar dan santrinya makin banyak. Kyai Kurdi pun merupakan pengikut Haji Hasan Mustapa yang setia.
Tidak diketahui aliran tarekat apakah yang dianut dan diajarkannya. Beberapa orang menyebutkan bahwa dia menguasai semua aliran tarekat, tetapi tidak mengambil salah satu dari padanya. Sebagian lagi mengatakan bahwa aliran Satariahlah yang dianutnya. Tetapi yang jelas dalam karya-karyanya sering menyebut-nyebut Al Ghazali sebagai suri yang dikaguminya. Pernyataannya ini dapat dibaca dalam bukunya Aji Wiwitan Istilah, Buku jilid ka-1; dan Aji Wiwitan Aji saka, Buku jilid ka-14.
Pada umumnya karya-karya Hasan Mustapa merupakan perpaduan yang kompleks dari tanggapan, renungan dan lontaran pendapatnya terhadap bermacam-macam pengetahuan yang amat disukainya, yakni: agama Islam, tasawuf, kebudayaan Sunda, otobiografi, dan peristiwa-peristiwa yang dialaminya. Ketika membaca karya-karyanya, apapun topiknya, kita seakan-akan berhadapan dengan seorang pribadi yang sangat tanggap, perenung yang mendalam, dan manusia yang berani mengemukakan pendapatnya sendiri.
Kadang-kadang perhatiannya loncat-loncat dari topik yang satu ke topik yang lain, hal ini mungkin karena ia banyak mengetahui permasalahan yang ada di sepanjang kehidupannya. Ditambah dengan kecenderungannya yang ingin menjelaskan sesuatu hal dengan cara berbahasa yang khas, menggunakan simbol dan imajinasi dengan perbendaharaan bahasa yang amat kaya. Inilah salah satu sebab mengapa memahami karya-karyanya terasa sulit. Selain itu umumnya bahasa yang digunakannya adalah bahasa lisan, sehingga sulit bagi pembaca untuk memberi makna yang sesungguhnya dari karya-karyanya.
Tidak heran bila sering terjadi penafsiran yang berbeda di antara pembaca karya-karyanya. Mungkin karena pembaca belum paham akan isi bahasanya, atau karya sastranya. Atau mungkin juga karena karyanya itu banyak mengandung ambiguitas, terutama karya-karya yang sarat dengan nilai keagamaan dan tasawuf.
Adanya ambiguitas tersebut terutama pada bagian-bagian yang melukiskan sesuatu dengan simbol atau imaji yang sudah barang tentu diwarnai dengan kata-kata yang berkonotasi. Pada naskah-naskah yang sebenarnya merupakan bahasan, lebih-lebih bahasan agama dan tasawuf, banyak terdapat simbol dan imaji. Hal ini mungkin akan menyulitkan pemahaman bila pembaca telah terbiasa membaca bahasan yang mempergunakan bahasan lugas.
Lebih sulit lagi memahami puisinya, terutama dalam hal menentukan pokok (subjek) dan arti (sense) yang terkandung di dalamnya. Seakan-akan yang tampak dalam puisinya itu lontaran rasa (feeling) dan nada (tone) semata-mata. Bahkan ada kalanya menimbulkan kesan terlalu banyak mempergunakan permainan kata. Baginya kata-kata Sunda tampak begitu “jinak” sehingga dapat dibawa ke arah yang disukainya untuk melukiskan perasannya.
Sejumlah karya-karya yang dihasilkan Hasan Mustapa mengundang banyak komentar dan tanggapan. Beberapa di antaranya akan disebutkan berikut ini. D.K. Ardiwinata salah seorang ahli bahasa dan pengarang Sunda terkenal sebelum perang, dalam pembukaan Buku Carita Jeung Sajarah Juragan Haji Hasan Mustapa, Wangsaatmadja, menyebutkan bahwa Hasan Mustapa adalah seorang yang luas pengetahuannya baik tentang bahasa dan adat-adat Sunda. Di samping itu, menurut pendapat Ardiwinata dia adalah orang yang amat cerdas dan pandai mengemukakan pendapat dengan argumentasi yang kuat, sehingga orang sukar untuk mendebatnya.
Snouck Hurgronye, salah seorang orientalis Belanda yang bertahun-tahun mengenal dan menjadi sahabat setianya, menganggap dia sebagai orang yang sangat bijaksana dan cerdas (Kern, 1946: VI). M.I. Prawirawinata yang sering menerbitkan karya-karya Hasan Mustapa dan pengarang-pengarang Sunda sebelum perang, dalam kata pengantar buku Hasan Mustapa yang berjudul Bale Bandung menyebutkan, bahwa Hasan Mustapa tidak saja dikenal di tanah Priangan, tetapi dikenal juga di Palembang, bahkan sampai ke Eropa. Kemasyhuran namanya disebabkan oleh pengetahuannya yang mendalam tentang kebatinan dan kepujanggaan (Bale Bandung, 1924).
R.A.A. Wiranatakusumah, Bupati Bandung yang mengaguminya, dalam kata pengantar bukunya yang diterbitkan tahun 1937 menyebutkan bahwa dia adalah Pujangga besar yang buah pikiran dan karya-karyanya bermutu tinggi dan sangat berguna bagi yang ingin mempelajarinya.
W. Wangsaatmadja, Sekretaris pribadi yang selama tujuh tahun mendampinginya, menyebutkan bahwa dia semasa hidupnya termasyhur sebagai orang pintar, dan ulama yang mengetahui seluk-beluk agama dengan mendalam, serta masalah darigama yang tidak diketahui oleh orang lain. Selanjutnya Wangsaatmadja menyebutkan karena pengetahuannya yang luas dia menjadi tempat bertanya para cerdik cendekia asing, yaitu Profesor-profesor dan Doktor-doktor.
Setelah Perang Dunia II, nama dan karyanya lebih banyak dikenal dan dibicarakan di lingkungan pengarang-pengarang Sunda. Mereka umumnya membicarakan dari sisi kesastrawanannya. Hanya satu dua yang menyinggung karyanya dari segi agama.
Sepengetahuan peneliti, Utuy T. Sontanilah pengarang Sunda sesudah perang, yang mula-mula membicarakan kedudukan Hasan Mustapa dalam sastra Sunda, serta mengemukakan pendapat dan penilaiannya atas beberapa dangding Hasan Mustapa dari segi sastra.
Menurut Utuy, Hasan Mustapa adalah pujangga Sunda modern yang memiliki kepribadian mandiri di tengah-tengah pengarang sezamannya. Disebut pujangga Sunda karena ia tetap berakar pada bumi Sunda, membawa suara dan milik Ki Sunda; disebut modern, karena ia memiliki kesadaran akan kehadirannya di tengah-tengah masyarakat modern yang individualistis. Selanjutnya Utuy menyebutkan bahwa Hasan Mustapa adalah seorang individualis yang memiliki kepribadian manusia Sunda yang besar, baik dalam pendangan kehidupan batiniahnya, maupun dalam pandangan kehidupan lahirnya.
Karya-karyanya menurut Utuy, jauh meninggalkan karya-karya pengarang sezamannya. Dalam karya-karyanya tidak lagi menyuapi pembaca dengan nasihat, tetapi mengajak pembaca untuk berpikir kreatif mencari kepribadian sendiri, agar tidak takut menentukan pilihan. Oleh karena itu menurut Utuy, karya-karyanya tidak akan mungkin diterbitkan oleh penerbit pemerintah jajahan masa itu, karena karya-karyanya mengajarkan kebebasan berpikir kepada pembacanya.
Pengarang lain yang lebih luas mengupas karya-karyanya, terutama dari sisi sastra adalah Ajip Rosidi. Pada umumnya pendapat Ajip tentang Hasan Mustapa dan karya-karyanya hampir sama dengan pendapat Utuy, hanya diungkapkan dalam uraian yang lebih luas. Ajip pun menyebutkan bahwa dia adalah seorang yang individualistis (dalam karyanya) yang memiliki kepribadian yang mandiri. Disebutkannya pula bahwa dia adalah pujangga Sunda yang yang betuk-betuk kenal dan akrab dengan alam Sunda. Membaca karya-karyanya, orang Sunda sendiri akan merasakan ketidakmampuan dirinya berbahasa Sunda dibandingkan dengan kekayaan khazanah kata-kata Sunda yang dimilikinya, serta kemahirannya menggunakan kata-kata.
Puisi dangding, yang pada masa itu dianggap sebagai bentuk puisi yang harus ditataati peraturan-peraturannya, serta diisi dengan ‘bahasa indah’ yang telah klise; oleh dia telah diisi dengan bahasa yang plastis serta orisinil, hingga tidak hilang sifat spontanitas dan kreativitasnya.
Selain itu Ajip menyebutkan, bahwa di dalam menerima ajaran Islam dia berbeda sekali dengan kebanyakan orang pada masa itu. Dia tidak menerima ajaran Islam dengan rohani yang kosong, namun dengan rohani yang sudah sarat oleh bekal dari kehidupan dan kekayaan rohani kebudayaan Sunda. Dongeng-dongeng serta sejarah-sejarah yang dipetik dari babas kaislaman oleh dia diganti dengan riwayat-riwayat serta tokoh-tokoh cerita yang dikenal oleh masyarakat Sunda masa itu, misalnya: Hariang Banga, Ciung Wanara, Sunan Ambu, Prabu Siliwangi, Ratu Galuh, Dayang Sumbi dan lain-lain.
Menurut Ajip, isi puisi dangding dan tulisan-tulisan Hasan Mustapa, umumnya membawa ingatan orang pada isi dan bentuk cerita pantun, mentera-mentera, suluk Sunda yang hidup dalam sastra Sunda lama.
Menurut pendapat Ajip Hasan Mustapa sebagai mistikus dan filsuf Islam hanya dapat dihitung dan berkembang di lingkungan yang mengenal jiwa dan kebudayaan Sunda; sebab dia merupakan penjelmaan jiwa rancage yang aktif dan kreatif dalam tradisi sastra Sunda.
Hasan Wahyuatmakusumah dalam tulisannya tentang Hasan Mustapa (Mangle XXII No. 704, 1979: 9), menyetujui pendapat Lutfi Abad, Dosen Universitas Malaysia, yang menyebutkan bahwa pengaruh Ar-Raniri ditemukan dalam karya-karyanya. Pendapat Hasan ini didasarkan atas riwayat kerja Hasan Mustapa yang pernah memangku jabatan Hoofd Penghulu Aceh, tempat Ar-Raniri menyebarkan paham agamanya, pada abad 17. Hasan menduga, selama tiga tahun tinggal di Aceh Hasan Mustapa pernah membaca karya-karya Ar-Raniri yang jatuh ke tangan Pemerintah Belanda, ketika perang Aceh berkecamuk.
Di samping itu menurut Hasan, dalam karya-karyanya Hasan Mustapa tidak mengidentifikasi manusia sama dengan Tuhan, akan tetapi kemanunggalan manusia dengan Tuhannya diartikan sebagai kemanunggalan Tuhan Maha Pencipta dan manusia sebagai mahluk yang diciptakan.
Atas dasar tanggapan dan komentar terhadap karya-karya Hasan Mustapa yang sebagian besar menggunakan media sastra tersebut, maka karya Hasan Mustapa tidak hanya dianggap sebagai karya yang mengeksplorasi wacana agama, namun juga sastra. Kedudukannya sebagai sastrawan di dalam tardisi sastra Sunda sangat mantap. Hal itu didasarkan atas beberapa alasan, yaitu, pertama, karena di dalam karya-karyanya, dia berpaling kepada simbol-simbol Sunda untuk mengungkap pengalaman batinnya; kedua, dia melakukan reinterpretasi terhadap berbagai simbol tersebut. Dengan demikian dia bukan saja berada dalam tradisi sastra Sunda, akan tetapi menjadi salah seorang penerus tradisi tersebut. Ketiga, dia memperkaya tradisi sastra Sunda dengan menyumbangkan tema baru, yaitu tasawuf Islam. Dengan demikian, karena dialah tradisi sastra Sunda menjadi mutakhir, setara dengan tradisi sastra lain yang pada abad XX ini memperlihatkan kecenderungan yang kuat untuk menggarap masalah-masalah metafisik, bahkan menggambarkan pemberontakan metafisik (Camus, 1977: 29-30).
Sebagai seorang yang berpaling kepada simbol-simbol (tradisional) Sunda, jarang sastrawan yang mempergunakannya sebanyak dan sebaik dia. Simbol-simbol tradisional sastra Sunda yang biasa digunakan, terutama terdapat dalam lirik-lirik tembang Sunda seperti Pajajaran, Galuh, Siliwangi, Mundinglaya, Dewi Asri, Sangkuriang, Dayang Sumbi dan sebagainya. Di samping simbol-simbol yang lebih jarang dipergunakan oleh sastrawan-sastrawan lain, seperti Ciung Wanara, Boeh Larang, Sang Rumuhun, Puhaci Wirumananggay, Aji Saka, Nyi Sepirasa, Parawan Sunti, Cupu Manik Astagina dan sebagainya.
Namun dia tidak hanya menggunakan simbol-simbol tersebut, melainkan memberikan tafsiran baru. Di dalam cerita pantun “Mundinglaya di Kusumah,” dikisahkan bahwa Mundinglaya terpaksa berpisah dari kekasihnya karena harus mencari Lalayang Salaka Domas ke Ja Baning Langit (Langit yang lain). Kedua kekasih ini sebelumnya menjadi simbol dari cinta murni dan kesetiaan, namun dia mempergunakannya untuk tema dan dengan cara lain. Kerinduan dua kekasih tersebut ditafsirkan sebagai simbol kerinduan manusia kepada Tuhannya. Demikian pula, dengan Boweh Rarang (kafan kasar) yang diceritakan dalam legenda-mitologis Sangkuriang sebagai alat yang digunakan Dayang Sumbi untuk menipu anaknya itu, agar tidak mengawininya. Oleh dia ditafsirkan sebagai simbol ajarannya. Masih banyak contoh lain yang dapat dijadikan bukti tentang bagaimana dia mereinterpretasi simbol, untuk kepentingan kebaharuan pengalamannya sebagai manusia Sunda.
Di samping itu, sebagai sastrawan kreatif, dia pun menciptakan simbol-simbol baru. Manusia yang telah menyadari keesaannya dengan Tuhan (ke-ahadiatan), akan menyadari kebebasannya untuk bertindak dan berbuat. Namun, seperti pendapat kaum eksistensialis, ia pun menyadari tanggung jawabnya. Di dalam menimbang-nimbang antara tanggung jawab dan kebebasan ini manusia benar-benar merasakan “kesendiriannya”. Untuk manusia macam itu dia menciptakan anak yatim piatu (pahatu lalis) sebagai simbol. Hubungan Tuhan dengan manusia seperti di dalam pandangannya yang cenderung panteistis, juga diberikan simbol yang sangat tepat, yaitu sebagai “hubungan rebung dengan bambu.”
Kedudukannya yang mantapdalam tradisi Sunda adalah karena kemampuannya mengerahkan daya ungkap dari simbol-simbol sastra Sunda yang tradisional. Kedudukannya sebagai pengembang tradisi diperlihatkan dengan melakukan reinterpretasi terhadap berbagai simbol tradisional dan atau mengisinya dengan pengalaman-pengalaman baru.
Perlu diungkapkan bahwa kehidupan rohani Sunda (buhun/kuno) tersimpul di dalam karya-karya sastra pantun Sunda. Di dalam karya-karya tersebut, terutama dalam cerita Mundinglaya di Kusumah dan Lutung Kasarung, terbayang kosmos manusia Sunda lama. Kosmos tersebut menempatkan manusia di Buana Panca Tengah (Dunia) yang diurus oleh Sunan Ambu di Buana Padang. Sunan Ambu mengasihi orang-orang yang baik (Mundinglaya; Purbasari) dan menghukum orang-orang yang bengis (Sunten Jaya; Purbararang). Untuk membagikan kasih dan hukuman, Sunan Ambu dibantu oleh mahluk-mahluk kahiangan yang disebut Bujangga dan Pohaci dan mahluk-mahluk halus yang menempati tempat keramat, seperti Guriang dan Karuhun-karuhun (leluhur). Di dalam kosmos yang demikian itulah manusia Sunda lama mendapatkan ketentuan rohaninya. Dan kosmos inilah yang terus terbayang dalam karya-karya sastra Sunda lama, dan bahkan dalam karya-karya sastra Sunda modern, khususnya yang berbentuk Gending Karesmen (Opera Sunda). Dengan datangnya Islam, kosmos kuno itu dengan sendirinya disisihkan dan diganti oleh kosmos dari agama Islam. Namun, sebagai ulama yang terpandang, dia tidak mengajarkan kosmos yang umum (jamak), melainkan menganut dan mengajarkan sebatas tasawuf. Mudah dipahami kalau karya-karya sastranya berisi pengalaman rohaninya; sebelum dan setelah penemuan konsep tasawufnya. Dengan sendirinya, renungan-renungan tasawuf seperti ini merupakan hal yang baru bagi tradisi sastra Sunda.
Walaupun dia, dalam karya-karya sastranya, menggunakan simbol-simbol tradisional tidak banyak orang yang memahami karya-karyanya. Hal ini bisa jadi karena yang diungkapkannya merupakan sesuatu yang baru, atau karena masyarakatnya belum siap. Hal ini, sebagian, disadarinya. Seperti dengan jelas diungkapkan oleh dia dalam salah satu bait dari dangdingnya (puisinya):
Kiwari tacan arusum
Nepi ka pamake kami
Sekarang belum saatnya
Sampai (mengerti) kepada ilmu saya
Di samping itu, dia sendiri tidak dapat mengungkapkan isi hati dan pendapat-pendapatnya secara bebas. Masyarakat pada masa itu memberikan reaksi yang negatif, hal terungkapkan dalam dangdingnya yang lain:
Heulanan kuring mundur deui
Tacan tega ka barudak urang
Basana serab pangilo
Matak risi nu sisip budi
Geus tepi ka kitu
Dongkap ka masya Allahna
Kajeun teuing uleh hararemeng galih
Moal matak doraka
Sementara saya mundur lagi
Tidak sampai hati kepada anak-anak
Kata mereka silau
Karena saya demikian
Menyebabkan risau mereka yang berjiwa kecil
(Karena) budi-daya saya
Sudah sampai sedemikian
Sampai mereka mengatakan “masya Allah”
Biarlah (jangan peduli) jangan risau hati
(Karena) tidak akan menyebabkan (saya) berdosa.
Masyarakat pada masa itu tidak dapat memahami pendapat-pendapatnya, bahkan para sastrawan, termasuk M.A. Salmun menyatakan ketidakpahaman terhadap karya-karya Hasan Mustapa.
Dapat dipahami kalau pengaruhnya dewasa ini tidak besar, walaupun tampak gejala-gejala akan semakin besar karena mulai tumbuhnya perhatian kepada karya-karyanya di kalangan sastrawan (muda) dewasa ini.

  1. Prof. Dr. M. Syuhudi Ismail
a.       Riwayat Hidup
Muhammad Syuhudi Ismail, lahir pada tanggal 23 April 1943, di daerah Lumajang Provinsi Jawa Timur. Ia menyelesaikan pendidikan SR (Sekolah Rakyat) yang sekarang dikenal dengan Sekolah Dasar (SD) di daerahnya sendiri yaitu di Lumajang pada tahun 1955 selama enam tahun. Barulah ia ke Malang untuk melanjutkan pendidikannya di PGA Negeri (pendidikan Guru Agama), dan dalam empat tahun sudah selesai (1959). Pada tahun 1962 ia menyelesaikan pendidikan Hakim Islam Negeri selama tiga tahun di Yogyakarta, dilanjtkan ia menjadi sarjana muda di IAIN Ujung Pandang, setelah mendapatkan gelar sarjana muda di Ujung Pandang, ia belum cukup puas untuk mengenyam pendidikan yang lebih tinggi lagi untuk mengasah ilmunya. Ia kembali ke Yogyakarta dan di tahun 1979 ia menyelesaikan studi purna sarjananya. Tak sampai di situ, iapun kembali mencari ilmu lagi untuk mendapatkan gelar S3 di IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang sekarang menjadi UIN, dan saya baca riwayat hidupnya di salah satu bukunya Pengantar Ilmu Hadits ia masih menyelesaikan studi S3nya.
b.      Peran dalam ilmu hadits
Pengalaman pendidikannya tak kenal usia seperti salah satu hadits Nabi yang berbunyi:

Artinya: “Mencari ilmu itu wajib bagi umat muslim laki-laki dan perempuan dari sejak ayunan sampai liang lahat”.
Ia juga pernah diberi kepercayaan untuk menduduki beberapa jabatan di antaranya: Pegawai Pengadilan Agama Tinggi Negeri (1962-1970), staf pengajar (LB) IAIN (1967-1970), staf pengajar (tetap) IAIN (1970-sekarang), dan masih banyak lagi.
c.       Karya-karya
Iapun juga menelurkan banyak karya ilmiah dan buku-buku yang sering digunakan sebagai panduan perkuliahan baik para mahasiswa maupun pengajarnya. Dan di antaranya adalah:
1)      Hadits (Ensiklopedi Islam, Depag, 1985)
2)      Hadits Shahih (Ensiklopedi Islam, Depag, 1985)
3)      Hadits Hasan (Ensiklopedi Islam, Depag, 1985)
4)      Hadits Dha’if (Ensiklopedi Islam, Depag, 1985)

  1. Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy
a.       Riwayat Hidup
Lahir di Lhoksumawe, Aceh Utara 10 Maret 1904. dalam tubuhnya mengalir darah campuran Arab. Dari silsilahnya diketahui bahwa ia adalah keturunan ke tiga puluh tujuh dari Abu Bakar Ash Shiddieq. Saat ia berumur enam tahun ibunya telah wafat, sehingga ia diasuh oleh bibinya yang bernama Cut Syamsyiyah. Dan mulai umur delapan tahun ia sudah berkelana untuk nyantri dari pesantren ke pesantren yang lainnya, yang berada di bekas pusat kerajaan Pasai tempo dulu.
b.      Peran dalam hadits
Ia tubuh dengan memiliki sisi menarik dalam dirinya. Di antaranya adalah:
1)      karena ia hanya mengenyam pendidikan di pesantren, ia tumbuh menjadi seorang yang otodidak. Dan hanya dalam waktu satu tahun, ia berhasil menamatkan pendidikannya di bangku sekolah Irsyad tahun 1926, dengan basis pendidikan formal itulah ia memperlihatkan dirinya sebagai seorang pemikir. Kemampuannya sebagai seorang intelektual diakui oleh dunia internasional. Hal ini dibuktikan dengan diundangnya untuk menyampaikan makalah dalam International Colloquium yang diselenggarakan di Lahore Pakistan.
2)      Ia juga bergerak di ling sendiri di Aceh, yang masyarakatnya dikenal fanatik, bahkan ada yang menyangka “angker”. Namun ia pada awal perjuangannya menentang arus. Ia tidak gentar dan surut dari perjuangannya walaupun ia dimusuhi, ditawan dan diasingkan oleh pihak yang tidak sepaham dengannya.
3)      Dalam berpendapat ia merasa bebas tidak terikat dengan kelompoknya, ia juga berpolemik dengan orang-orang Muhammadiyah. Iapun juga berani berbeda dengan jumhur ulama, suatu yang langka terjadi di Indonesia.
c.       Karya-karya
Semasa hidupnya ia menulis 72 judul buku dan 50 artikel di bidang Tafsir, hadits, fiqih dan pedoman ibadah umum. Di antara karyanya yaitu:
1) Menjelang akhir hayatnya, ia memperoleh dua gelar Doctor Honoris Causa karena jasa-jasanya terhadap perguruan tinggi Islam dan perkembangan ilmu pengetahuan keislaman di Indonesia. Satu diperoleh dari Universitas Islam Bandung (UNISBA) pada tanggal 22 Maret 1975 dan dari IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta pada tanggal 29 Oktober 1975.


[1] Fathurrahman, Ikhtisar Mushtholah Hadist, bandung : PT Ma’arif , 1974, hal 37
[2] M.Syubhah, Fi Rihab Al Sunah Kutub Al Shihah Al Sittah ( ttp : Majma’ al Buhus al islamiyah,1969) hal 42
[3]Munzier Suparta, Ilmu Hadist, Jakarta : PT Grafindo persada, 2003, hal 23
[4]M. Abdurrahman, Studi Kitab Hadist, TH Press, 2003, hal.45
[5] Opcit,munzier hal.237
[6] Fathur rahman, Ikhtisar Mushtholah Hadist, Bandung : ma’arif,1974, hal.377
[7] Ibid, hal .132
[8] Munzier Suparta, ………..hal. 250
[9] M.Abdurrahman, Studi Kitab Hadist, hal. 2
[10] Fathur Rahman, Mushtholah Hadist,hal.369 lihat Tanwirul Qulub ,Jalaludin al suyuthy, juz I,hal.9
[11] M.Abdurrahman Pergeseranpemikiran hadist ijtihad hakim dalam menentukan status hadist, Jakarta: paramadina, 2000), hal 29
[12] Ibid, hal.45