- Biografi
Tokoh Al Kutub Al Tis'ah
Sebagaimana diketahui
bahwa sanad itu adalah rawi –rawi hadist yang dijadikan sandaran oleh pentahrij
hadist dalam mengemukakan suatu matan hadist, nilai suatu hadist sangat
dipengaruhi oleh: hal – hal., sifat-sifat, tingkah laku, biografi, mazhab-mazhab
yang dianutnya dan cara menerima dan menyampaikan hadist dari para rawi.
Salah satu cabang ilmu rijalul
hadist adalah ilmu tawarihir ruwah yang membahas tentang kapan dan
dimana seorang rawi itu dilahirkan, dari siapa ia menerima hadits, siapa orang
yang pernah mengambil hadist dari padanya, dan akhirnya diterangkan pula kapan
dan dimana ia wafat.
Berikut ini sekilas
biografi tentang tokoh al kutub al tis'ah yang meliputi : Imam al Bukhori,
Imam Muslim, Imam Abu Dawud, Imam at-Tirmidzi, Imam an-Nasa’i, Imam Ibnu Majah,
Imam Malik, imam Hakim, dan Imam al Darimi.
1. Imam Al Bukhari ( 194-252 H/810-870 M )
a. Riwayat Hidup Imam Al Bukhari
Nama lengkapnya adalah
Abu Abdillah Muhammad bin Ismail bin Ibrahim bin Almughroh bin Al Bardizbah Al
bukhoro, adalah ulama’ hadist yang sangat masyhur, kelahiran Bukhara, suatu
kota di Uzbekistan, wilayah uni soviet, yang merupakan simpang jalan antara
rusia, Persi, Hindia, dan Tiongkok.
Beliau dilahirkan
setelah selesai sholat jum’at pada tanggal 13 syawal 194 h (810 M). seorang muhaditsin
yang jarang tandingannya ini, sangat wara’, sedikit makan, banyak
membaca al-Qur’an baik siang maupun malam, serta gemar berbuat kebajikan kepada
murid-muridnya. Ayahnya adalah seorang ulama’ hadist yang pernah belajar
dibawah bimbingan sejumlah tokoh termasyhur sat itu seperti Anas bin Malik, Hammad
ibnu Zaid, dan ibnu Mubarak.
Imam Al-Bukhori wafat
pada malam sabtu selesai sholat isya’, tepatnya pada malam Idul fithri tahun
252 h (870 M) dan dikebumikan di Khirtank, Samarkand.
b. Karya-karya imam al bukhori
karya-karya beliau
banyak sekali, diantaranya :
1) Al Jami’ah Musnad Al Shohih Al Mukhtashar Min
Umur Rasulillah Wa Sunanih Wa Ayyamihi yang biasa di sebut “Shahih Bukhori”. yakni kumpulan
hadist – hadist yang beliau persiapkan selama 16 tahun lamanya. Kitab ini
berisikan hadist–hadist shahih secara keseluruhan.
Banyak ulama’ yang
membuat syarah dari shohih Bukhori antara lain :
a) Ibnu hajar ( w. 856 H ) mengarang Fathul Bari
b) Al Ayni Al hanafi (wafat 855 H ) mengarang Umdah
al Qari’
c) Qasthalani ( wafat 923 H ) mengarang Irsyad
Al syari’
d) Jalaluddin al suyuthi ( wafat 911 H ) mengarang At
Tausyih
2) Qadhaya Al Shohabah Wa At Tabi’in. kitab ini disusun ketika berusia 18 tahun, dan
sekarang tidak diketahui keberadaannya.
3) Al Tarikhu Al Kabir ( 8 jilid ) yang
telah terbit tiga kali
4) Al Tarikhu Al Autsah
5) Al Adabu Al Munfarid, Birru Al Walidain, dan sebagainya.
c. Perhatian beliau terhadap ilmu hadist
Disaat usianya beliau
belum mencapai sepuluh tahun, Imam Al Bukhori telah mulai belajar hadist,
sehingga tidak mengherankan ketika berusia 16 tahun telah hafal matan sekaligus
rawi dari beberapa buah kitab karangan ibnu mubarak dan waqi’.
Beliau merantau ke negeri syam, mesir, jazirah arab sampai dua kali, ke Bashrah
empat kali, ke hijaz bermukim enam tahun, dan pergi ke Baghdad bersama ahli
para hadist yang lain sampai 8 kali. Menurut pengakuannya, kitab hadist yang ditulisnya membutuhkan
jumlah guru tidak kurang dari 1.080 orang guru hadist.
Beliau telah memperoleh
hadist dari beberapa hafidh, antara lain: Maky bin Ibrahim, Abdullah bin Usman
Al Mawarzy, Abdullah bin Musa, Abu Ashim Asy syaibani, dan Muhammad bin
Abdullah Al Anshori. Ulama’-. ulama’ besar yang mengambil hadist dari beliau
antara lain : Imam Muslim, Abu Zur’ah, At-Turmudzi, Ibnu Khuzaimah dan
An-Nasa’i.
2. Imam Muslim ( 204 – 216 H/820-875 M)
a. Riwayat Hidup Imam Muslim
Nama lengkap beliau
adalah Abu Al Husain Muslim bin Al Hajaj bin Muslim bin Kausaz Al Qusyairi Al Naisaburi.
Beliau dinisbatkan kepada Naisaburi karena dilahirkan di Naisabur, Iran. Ia
dilahirkan pada tahun 204 H ( 820 M ) dan wafat pada hari ahad bulan rajab
tahun 261 H ( 875 M ) dan dimakamkan di Naisabur.
b. Perhatian beliau terhadap ilmu hadist
Imam Muslim belajar
hadist pada usia kurang lebih 12 tahun yaitu pada tahun 218 H (833 M ). Beliau
pernah pergi ke hijaz, irak, syam, mesir dan tempat-tempat lain untuk
memperdalam tentang ilmu hadist.
Ulama’- ulama’ besar
yang pernah berguru kepada beliau seperti : Abu Hatim, Musa bin Haran, Abu Isa
At-Tirmidzi, Yahya ibnu Said, ibnu Khuzaimah, Awwanah, dan Ahmad ibnu Al Mubarak.
c. Karya-karya imam muslim
Diantara karya-karya
beliau adalah :
1) Shahih Muslim, kitab ini berisikan sebanyak 7.273 buah hadist, termasuk
yang diulang-ulang, kalau dikurangi yang diulang maka tinggal 4.000 buah
hadist. Kitab sahih muslim ini yang paling terkenal. Diantara sekian kitab yang
memberi syarah terhadap kitab itu adalah Imam Nawawi ( wafat 672 H ), yang
diberi judul al manhaj fi syarh shahih muslim ibnu hajaj.
2) Musnadul Kabir, kitab yang menerangkan tentang nama-nama Rijalul hadist
3) al Jami’ul Kabir
4) Kitabul I’lal wa kitabu auhamil muhaditsin
5) Kitabut tamyiz, kitabu man laisa lahu illa rawin
wahidun, kitab al thabaqat al thabi’in dan kitab muhadhoromin.
3. Imam Abu Dawud ( 202-275 H/ 817-889 M)
a. Riwayat Hidup Imam Abu Dawud
Nama lengkap beliau
adalah Abu Dawud Sulaiman bin Asy’ats bin Ishaq As Sijistany. Beliau
dinisbatkan kepada tempat kelahirannya yaitu di Sijistan ( antara Iran dan
Afghanistan ). Beliau dilahirkan pada tajhun 202 H ( 817 M) dan wafat pada
tahun 275 H ( 889 M ) di Bashrah, Irak.
b. perhatian beliau terhadap ilmu hadist
Beliau merantau
mengelilingi negeri-negeri tetangga untuk mencari hadist dan ilmu-ilmu hadist
yang lain .kemudian mengumpulkan, menyusun, dan menulis hadist-hadist yang
telah diterima dari ulama’-ulama’ Iraq, Khurasan, Syam, dan mesir.
c. karya-karya imam abu dawud
Diantara karya-karya
beliau adalah : sunan Abu Dawud, karyanya yang terbesar dan berfaedah bagi
mujtahid, al Marasil, masail Imam Ahmad,
al Zuhd, Tasmiyah al ikhwan, al Bhats wan Nushur, Ibtida’ al Wahyi dan al Nasikh
wal Manksukh.
4. Imam At-Tirmidzi ( 200-279 H/824-892 M)
a. Riwayat hidup imam at-tirmidzi
Nama lengkap beliau
adalah abu isa Muhammad ibnu isa Ibnu Tsurah ibn musa ibn Dhahak al Sulami al Bughi
al tirmidzi. Adalah seorang Muhadits yang lahir di kota Turmudz, kota kecil di
pinggir utara sungai Amuderya, sebelah utara Iran.
Beliau dilahirkan di kota
Turmudz pada bulab Dzulhijjah 200 H ( 824 M). imam at-tirmidzi dan imam al
bukhori adalah satu daerah ma wara’un nahar. Beliau wafat di Turmudz 13 rajab
279 H ( 829 M).
b. Perhatian terhadap ilmu hadist
Beliau mengambil hadist
dari ulama hadist kenamaan, seperti qutaibah ibn sa’id, ishaq ibn musa, dan al
bukhori. Mayoritas ulama’ sepakat bahwa pada akhir hayatnya al tirmidzi
mengalami kebutaan, akan tetapi apakah kebutaannya itu sejak lahir masih
menjadi perselisihan diantara ulama hadist.
c. Karya-karyanya: Sunan At-Tirmidzi,
penulisannya selesai pada tanggal 10 Dzulhijah 270 H. salah satu syarah yang
mengomentarinya adalah karangan Abdurrahman Mubarakpuri dengan judul Tuhfat
Al Ahwadzi ( 4 jilid ). Tawarih, al I’lal, syamail, al asma’ wal kuna,
al atsar al mauqufah,dan al I’lalul kabir.
5. Imam an-Nasa’i ( 215-303 H/839-915 M)
a. Riwayat hidup an-Nasa’i
Nama lengkapnya adalah
abu Abdirrahman Ahmad bin syu’aib Binbahr. Beliau dilahirkan pada tahun 215 H
(839 M) di kota nasa’ yang termasuk wilayah kota khurasan, Iran. Tempat
kelahiran beliau inilah namanya dinisbatkan. Di kota Nasa’ inilah beliau tumbuh
dan memulai aktifitas pendidikannya dengan memulai menghafal al qur’an dan
menerima berbagai disiplin keilmuan dari
guru-gurunya.
Beliau wafat pada hari
senin, 13 Shaffar 303 H ( 915 M) di ar Ramlah, palestina. setahun sebelum wafatnya, ia pindah dari mesir ke Damaskus,
Suriah. Di kota ini ia menulis kitab al Khasais Ali ibn Abi Tholib yang berisi
keistimewaan ali bin Abi Thalib.
b. Perhatian beliau terhadap ilmu hadist
Ketika berusia 15 tahun
beliau mengadakan perjalanan ke daerah Hijaz, Irak, Syam, Mesir dan daerah-daerah
jazirah Arab lainnya untuk mendengarkan dan mempelajari hadist-hadist dari
ulama’-ulama’ yang beliau kunjungi.
Setelah menjadi ulama’
hadist, beliau memilih mesir sebagai tempat untuk menyiarkan dan mengajarkan
hadist-hadist kepada masyarakat. Menurut sebagian muhaditsin, beliau
lebih hafizd daripada imam muslim.
c. Karya-karyanya
Karya beliau yang utama
adalah Sunanul Kubro, yang akhirnya terkenal dengan nama sunan an-nasa’i
merupakan kitab yang muncul setelah shohihain yang paling sedikit hadist
dhoifnya, tetapi paling banyak perulangannya. Bahkan, hadist tentang niat
diulangnya 16 kali. Karya-karyanya yang lain: sunan mujtaba, kitab tamyiz,
kitab ad dhuafa, khasais ali, musnad ali, musnad malik, manasik haj, dan
tafsir.
6. Imam Ibnu Majah ( 207-273 H/824-887 M)
a. Riwayat hidup ibnu majah
Ibnu majah adalah nama
yang popular dikalangan umat islam setidaknya setelah beliau menulis hadist
dalam kitabnya sunan ibnu majah. Ibnu majah adalah nama nenek moyang yang
berasal dari Qazwin, Iran. Nama lengkap beliau adalah abu Abdillah Muhamad ibn Yazid
ibn Majah al Rubai’iy al Qazwiny al Hafidz dengan nama Kuniyah Abu Abdillah.
Beliau lahir pada tahun 207 H ( 824 M ) dan wafat dalam usia 74 tahun pada
tanggal 22 ramadhan 273 H/887 M.
b. Perhatian beliau terhadap ilmu hadist
Pada usia 15 tahun ia
amat senang dengan ilmu hadist. Ibnu majah sempat berguru kepada ali bi
Muhammad al Tanafi ( wafat 233 H ) adalah gurunya yang pertama. Ibnu majah
adalah seorang petualang keilmuan terbukti dengan banyaknya daerah yang
dikunjunginya. Diantaranya : Khurasan, Naisabur, al Ray, dan di kota Baghdad, Kufah,
Bashrah, Wasith, Hijaz, Makkah dan madinah, syam : Damaskus dan Hims.
Dari tempat perantauan
itu, beliau bertemu dengan murid-murid Imam Malik dan al Laist, dari sinilah
beliau banyak memperoleh banyak hadits.
c. Karya-karyanya
Tidak kurang dari 32
karya ilmiah yang ditelurkan dari ulama’ yang
berdedikasi keilmuan ibnu majah. Adapun karya – karyanya adalah : tafsir
al Quran karim, al tarikh, yang sampai saat ini tidak ada kabarnya,
tampaknya telah hilang. Kemudian sunan ibnu majah berisikan 4.341 hadist,
sebanyak 3.002 telah dibukukan oleh pengarang Al Kitab Al Sittah lainnya,
dan 1.339 hadits diriwayatkan oleh beliau sendiri dengan rincian berikut :
a) 428 buah hadist adalah shahih
b) 199 buah hadist adalah hasan
c) 613 buah hadist adalah lemah isnad
d) 99 buah hadits adalah munkar dan makhduzb
7. Imam Malik Bin Anas ( 93 – 179 H/712-792 M )
a. Riwayat hidup Imam Malik
Beliau dilahirkan pada
tahun 93 H ( 712 M ). Nama lengkapnya abu Abdillah Malik bin Anas bin Malik bin
abu amir bin ‘Amr bin al Harits adalah seorang Imam Darul hijrah dan seorang
faqih, pemuka madzhab Malikiyah.
Imam malik dilahirkan di
kota madinah, dari pasangan Anas bin Malik dan Aliyah binti Surauk, bangsa arab
yaman. Ayah beliau bukan Anas bin Malik sahabat nabi, tetapi seorang tabi’in
yang tinggal di Zulmarwah, sebelah utara madinah dan bekerja sebagai pembuat
panah.
Imam Malik menikah
dengan seorang hamba yang dikaruniai 3
anak laki-laki ( Muhammad, Hammad, dan Yahya ) dan seorang anak perempuan ( Fatimah
). Imam Malik wafat pada hari ahad 14 Rabiul awal 179 H (798 M ) di madinah dan
dimakamkan di Haqi’.
b. Perhatian beliau terhadap ilmu hadist
Beliau adalah seorang muhadist
yang menjunjung tinggi hadist Rasullullah Saw. Jika hendak memberikan hadist,
ia berwudhu’ terlebih dahulu, kemudian duduk di alas sholat dengan tenang dan
tawadhu’. Selain ahli hadist, beliau juga ahli fikih. Sehingga seluruh warga
hijaz menyebutnya dengan “Sayyidi fuqaha al hijaz “.
c. Karya-karyanya : Al muwatha’ merupakan
karyanya yang sangat gemilang dalam ilmu hadist. Beliau menulisnya pada tahun
144 H atas anjuran Kholifah Ja’far Manshur sewaktu menunaikan ibadah haji.
Ulama’-ulama’ yang mensyarah Muwatho’ antara lain :
1) Ibnu abdil baar, menyusun 2 syarah dengan nama al Tamhid dan al Istidzkar
2) Abu al walid dengan al Mau’ib
3) Al Zarqany dan ad Dahlawy dengan nama al
musawwa
4) Al baji, sulaiman ibn Kholaf ( wafat 473 H )
menyusun 2 syarah: Istifa dan Muntaqa berjumlah 7 jilid.
5) Al Kandahlawy, Muh. Zakaria (1315 H ) menulis Awjaz
Al Masalik Syarh Muwatha’ Li Imam Malik.
Adapun karya lainya : Risalah
ila ibn wahb fi al qadr, kitab an nujum, risalah fi aqdhiyah, risalah
ila abu ghassan, kitab al syiar dan kitab al manasik.
8. Imam Hakim ( 321 – 405 H )
a. Sekilas tentang biografi al hakim
Nama lengkap beliau
adalah Abdullah Muhammad bin Abdullah bin muhammad bin Hamdun bin Hakam bin Nu’aim
bin al Bayyi’ al Dabbi al Tahmani al Naisaburi yang lahir di Naisabur pada hari
senin 12 Rabiul Awwal 321 H. ayahnya Abdullah Muhammad bin Hamdun adalah
seorang pejuang yang dermawan dan ahli ibadah serta sangat loyal terhadap bani Saman
yang menguasai daerah Samaniyah.
Dalam catatan sejarah,
daerah Samaniyah pada abad ke-3 H telah melahirkan tokoh-tokoh hadist kenamaan
semisal al bukhori, imam muslim, Abu Dawud, al Tirmidzi, al Nasa’i, serta Ibnu
Majah.
b. Perhatiannya dan pemikiran al hakim terhadap
ilmu hadist
Dalam perjalanan
hidupnya selama 84 tahun, al hakim telah melakukan kiprah yang memberi
kontribusi cukup besar dalam bidang hadits melalui karya monumentalnya, al
Mustadrak ‘ala al shohihaini. Dalam catatan sejarah, al hakim telah berguru
kepada 1000 orang ahli hadist lebih. Ibnu Hiban, al Daruqutni, dan abu ali an Nasaiburi merupakan guru beliau
yang amat ia segani dan mempunyai kedudukan tersendiri di mata beliau disamping
karena intensitas pertemuannya dengan al hakim namun karena mereka cukup
handal.
Berbeda dengan
ulama’-ulama’ sebelumnya ( pasca at-turmudzi ), al hakim tidak mengklasifikasi
hadist menjadi sahih, hasan, dan dhoif. Ia justru membagi hadist menjadi
2, yakni hadist shahih dan dhoif, dalam pandangan beliau hadist hasan
masuk dalam kategori sahih.
c. Karya-karyanya
Al hakim merupakan tokoh
intelektual muslim abad ke-4 H yang memegang komitmen keilmuannya. Diantara
karya-karyanya: Tahrij al sahihaini, tarikh an nasaibur, fadhail imam Syafi’i,
fadhail syuyukh, al mustadrak ‘ala al sahihaini, al madhal ila iklil dan
sebagainya. diantara karyanya yang terkenal dihadapan kita adalah Al
Mustadrak ala al shahihain, al madkhal ila iklil dan ma’rifah fi ‘ulum al
hadist
9. Imam al Darimi ( 181- 225 H )
a. Biografi
Imam Al Darimi
Beliau bernama lengkap
Abdurrahman ibn Abdirrahman ibn al Fadhl ibn Bahram ibn Abdish Shamad,
kuniyahnya abu Muhammad. Ia juga dinisbatkan kepada Tamimi, yaitu qabilah
dimana ia bernaung, juga dinisbatkan dengan al Darimi, yaitu nisbat kepada Darim
ibn Malik dari bani Tamim.
Beliau dilahirkan pada
tahun 181 H di kota Samarkand, irak. Sejak kecil beliau dikaruniai kecerdasan
otak sehingga mudah paham dan hafal setiap apa yang ia dengar.
Beliau wafat pada hari Tarwiyah
tahun 255 H, setelah shalat ashar. Ia dikubur pada hari jum’at yang bertepatan
dengan hari arafah. Ketika wafat berusia 75 tahun.
b. Perhatian dan pemikirannya terhadap ilmu hadits
Al Darimi adalah sosok
yang gigih dalam mencari hadist dan diakui oleh kebanyakan ulama’ hadist. Salah
satu kitabnya yang berjudul “al hadist al musnad al marfu’ wa al mauquf wa
al maqthu’ yang beliau susun dengan sistematika bab-bab fikih, sehingga
kitab ini popular dengan sebutan “sunan al darimi “.
c. karya-karyanya
Karya beliau yang
popular adalah kitab hadist yang diberi judul “al hadist al musnad al
marfu’ wa al mauquf wa al maqthu’ atau yang terkenal dengan sunan al Darimi.
Disamping itu al Darimi juga menyusun kitab tafsir dan kitab ensiklopedi (al Jami’).
Namun, pada masa kini tidak bisa kita temukan lagi keberadaannya.
- Biografi
Tokoh-tokoh Hadist Indonesia
Banyak tokoh - tokoh
hadist indonesia yang telah banyak berperan penting dalam perkembangan ilmu
hadits di Indonesia. Mereka telah banyak memberikan kontribusi terhadap
khasanah serta wawasan tentang hadist-hadits yang dipelajari hingga sekarang.
Diantara tokoh –tokoh
hadits Indonesia antara lain: K.H. Hasyim
Asy'ari, Prof. M. Quraiysh
Shihab, Prof. M. Syuhudi Ismail, A. Hasan Bandung, Prof. T.M. Hasbi Ash-
shidieqi, Syekh Mahfud At-Tirmisi
1. K.H Hasyim Asy'ari
a. Riwayat Hidup KH. Hasyim Asy'ari
Nama lengkap beliau
adalah Hasim bin Asy'ari bin Ustman bin Sihan lahir di pondok Nggedang jombang
jawa timur ,10 april 1875 adalah pendiri pesantren dan perintis NAHDLATUL
ULAMA(NU) salah satu organisasi kemasyarakatan terbesar di Indonesia, ia di kenal sebagai
tokoh pendidikan pembaharu pesantren. Ibunya bernama Halimah binti Raja Brawijaya
VI (Embu Peteng), beliau meninggal dunia
pada tanggal 15 Juli 1947 karena pendarahan otak dan di makamkan di Tebuireng
.
b. Perhatian Beliau terhadap ilmu hadist
KH. Hasyim Asy'ari pada
tahun 1892 menunaikan ibadah haji dan
menimba ilmu di mekah, Di sana ia berguru pada Syekh Ahmad Khatib dan Syekh Mahfud At-Tirmisi, gurunya di
bidang hadist. hubungannya lebih dekat kepada syeikh Mahfud yang terkenal
sebagai seorang isnad (matan rantai penghubung) pengajaran kitab shahih
Bukhori yang menyambung pada imam Bukhori .Dari syekh Mahfud itulah Mohammad
Hasyim mendapat ijazah untuk mengajar Shahih bukhori dan muslim. sampai
akhirnya di kenal ahli hadits.
c. karya-karyanya di antara lain :
1. Risalah
Ahlussunnah Waljamaah .
2.
Imam Nawawi
a.
Riwayat hidup Imam Nawawi
Beliau adalah Yahya bin Syaraf bin Hasan bin Husain An-Nawawi
Ad-Dimasyqiy, Abu Zakaria. Beliau dilahirkan pada bulan Muharram tahun 631 H di
Nawa, sebuah kampung di daerah Dimasyq (Damascus) yang sekarang merupakan
ibukota Suriah. Beliau dididik oleh ayah beliau yang terkenal dengan kesalehan
dan ketakwaan. Beliau mulai belajar di Katatib (tempat belajar baca tulis untuk
anak-anak) dan hafal Al-Quran sebelum menginjak usia baligh.
Ketika berumur sepuluh tahun, Syaikh Yasin bin Yusuf Az-Zarkasyi
melihatnya dipaksa bermain oleh teman-teman sebayanya, namun ia menghindar,
menolak dan menangis karena paksaan tersebut. Syaikh ini berkata bahwa anak ini
diharapkan akan menjadi orang paling pintar dan paling zuhud pada masanya dan
bisa memberikan manfaat yang besar kepada umat Islam. Perhatian ayah dan guru
beliaupun menjadi semakin besar.
An-Nawawi tinggal di Nawa hingga berusia 18 tahun. Kemudian pada
tahun 649 H ia memulai rihlah thalabul ilmi-nya ke Dimasyq dengan
menghadiri halaqah–halaqah ilmiah yang diadakan oleh para ulama kota tersebut.
Ia tinggal di madrasah Ar-rawahiyyah di dekat Al-Jami’ Al-Umawiy. Jadilah thalabul
ilmi sebagai kesibukannya yang utama. Disebutkan bahwa ia menghadiri dua
belas halaqah dalam sehari. Ia rajin sekali dan menghafal banyak hal. Ia pun
mengungguli teman-temannya yang lain. Ia berkata: “Dan aku menulis segala
yang berhubungan dengannya, baik penjelasan kalimat yang sulit maupun pemberian
harakat pada kata-kata. Dan Allah telah memberikan barakah dalam waktuku.”
[Syadzaratudz Dzahab 5/355].
Diantara syaikh beliau: Abul Baqa’ An-Nablusiy, Abdul Aziz bin
Muhammad Al-Ausiy, Abu Ishaq Al-Muradiy, Abul Faraj Ibnu Qudamah Al-Maqdisiy,
Ishaq bin Ahmad Al-Maghribiy dan Ibnul Firkah. Dan diantara murid beliau: Ibnul
‘Aththar Asy-Syafi’iy, Abul Hajjaj Al-Mizziy, Ibnun Naqib Asy-Syafi’iy, Abul
‘Abbas Al-Isybiliy dan Ibnu ‘Abdil Hadi.Beliau Wafat pada 24 Rajab 676 H
b.
Peran Dalam Ilmu Hadist.
Pada tahun 651 H ia menunaikan ibadah haji bersama ayahnya, kemudian
ia pergi ke Madinah dan menetap disana selama satu setengah bulan lalu kembali
ke Dimasyq. Pada tahun 665 H ia mengajar di Darul Hadits Al-Asyrafiyyah
(Dimasyq) dan menolak untuk mengambil gaji.
Beliau digelari Muhyiddin (yang menghidupkan agama) dan
membenci gelar ini karena tawadhu’ beliau. Disamping itu, agama islam
adalah agama yang hidup dan kokoh, tidak memerlukan orang yang menghidupkannya
sehingga menjadi hujjah atas orang-orang yang meremehkannya atau
meninggalkannya. Diriwayatkan bahwa beliau berkata: ”Aku tidak akan
memaafkan orang yang menggelariku Muhyiddin.”
Imam An-Nawawi adalah seorang yang zuhud, wara’ dan bertaqwa. Beliau
sederhana, qana’ah dan berwibawa. Beliau menggunakan banyak waktu
beliau dalam ketaatan. Sering tidak tidur malam untuk ibadah atau menulis.
Beliau juga menegakkan amar ma’ruf nahi munkar, termasuk kepada para penguasa,
dengan cara yang telah digariskan Islam. Beliau menulis surat berisi nasehat
untuk pemerintah dengan bahasa yang halus sekali. Suatu ketika beliau dipanggil
oleh raja Azh-Zhahir Bebris untuk menandatangani sebuah fatwa. Datanglah beliau
yang bertubuh kurus dan berpakaian sangat sederhana. Raja pun meremehkannya dan
berkata: ”Tandatanganilah fatwa ini!!” Beliau membacanya dan menolak
untuk membubuhkan tanda tangan. Raja marah dan berkata: ”Kenapa !?”
Beliau menjawab: ”Karena berisi kedhaliman yang nyata.” Raja semakin
marah dan berkata: ”Pecat ia dari semua jabatannya!” Para pembantu
raja berkata: ”Ia tidak punya jabatan sama sekali.” Raja ingin
membunuhnya tapi Allah menghalanginya. Raja ditanya: ”Kenapa tidak engkau
bunuh dia padahal sudah bersikap demikian kepada Tuan?” Rajapun menjawab: ”Demi
Allah, aku sangat segan padanya.”
c.
karya-karya Imam Nawawi
Imam Nawawi meninggalkan banyak sekali karya ilmiah yang terkenal.
Jumlahnya sekitar empat puluh kitab, diantaranya:
1)
Dalam bidang hadits: Arba’in,
Riyadhush Shalihin, Al-Minhaj (Syarah Shahih Muslim), At-Taqrib
wat Taysir fi Ma’rifat Sunan Al-Basyirin Nadzir.
2)
Dalam bidang fiqih: Minhajuth
Thalibin, Raudhatuth Thalibin, Al-Majmu’.
3)
Dalam bidang bahasa: Tahdzibul
Asma’ wal Lughat.
4)
Dalam bidang akhlak: At-Tibyan
fi Adab Hamalatil Qur’an, Bustanul Arifin, Al-Adzkar.
Kitab-kitab ini dikenal secara luas termasuk oleh orang awam dan
memberikan manfaat yang besar sekali untuk umat. Ini semua tidak lain karena
taufik dari Allah Ta’ala, kemudian keikhlasan dan kesungguhan beliau dalam
berjuang.
1. Imam Cokroaminoto(Ahmad Khatib)
a.
Riwayat hidup imam
Ahmad Khatib
Ahmad Khatib sering disebut-sebut pelopor gerakan pembaruan Islam
pada awal abad ke-20 di Indonesia. Sekurang-kurangnya guru bagi kaum modernis
generasi awal Dia memang guru kaum muda angkatan pertama semisal Ahmad Dahlan,
Haji Abdul Karim Amrullah, ayah Haji Abdul Malik Karim Amrullah alias Hamka,
Muhammad Jamil Jambek dan Haji Abdullah Ahmad. Tapi jangan lupa, Syekh Khatib
juga guru Kiai Hasyim Asy’ari, pendiri Nahdlatul Ulama, organisasi yang dicap
kolot itu. Paling kurang tradisional, sebagai lawan modernis yang dilekatkan
pada Muhammadiyah yang didirikan Kiai Dahlan
Syahdan, generasi pertama kaum muda itu punya minat yang besar dalam
perkara yang berkaitan dengan ilmu hisab. Semangat ilmiah yang satu ini sampai
sekarang diwarisi oleh para pemimpin Muhammadiyah, terutama dalam perkara
penentuan hari lebaran. Ahmad Dahlan dikirim ke Mekkah untuk belajar, sesudah
terjadi heboh dengan penetapan kiblat dalam Masjid Agung di Yogyakarta. Ilmu
bumi dan ilmu alam merupakan mata pelajaran kegemaran Dahlan muda. Maka, bukan
kebetulan di Mekkah beliau berguru kepada Ahmad Khatib, yang juga mementingkan
ilmu yang berhubungan dengan menghitung. Syekh Khatib yang dikenal penentang
gigih tarekat dan adat Minangkabau dalam perkara hokum waris ini memang punya
reputasi sebagai ahli ilmu hitung dan hisab.
b.
Perhatian beliau dalam hadist.
Meskipun kaum muda itu memperoleh pengajaran dari Syekh Khatib,
bukan sendirinya harus mengikuti paham guru mereka. Sebetulnya tidak aneh:
bukankah Washil ibn ‘Atha memisahkan diri dari gurunya, Abul Hasan Asy’ari?
Ahmad Khatib tidak bisa membebaskan dirinya dari tradisi keagamaan bermazhab.
Beliau tetap berpegang alias bertaqlid kepada mazhab Syafi’i. Dia memang
menyuruh murid-muridnya membaca karangan Muhammad Abduh, tokoh pembaru dari
Mesir yang pemikirannya amat berpengaruh pada Dahlan itu. Tetapi hal ini tidak
berarti Ahmad Khatib setuju dengan pemikiran-pemikiran Abduh. Rupanya beliau
membolehkan murid-muridnya membaca karangan-karangan Abduh, supaya pemikiran-pemikiran
pembaharu dari Mesir itu ditolak.
Ahmad Khatib boleh dibilang berasal dari keluarga terkemuka dan
dinamis. Dia lahir di Bukittinggi pada tahun 1855. Ayahnya Jaksa Kepala di
Padang. Ibunya anak Tuanku nan Renceh, ulama terkemuka dari golongan Paderi.
Tidak syak lagi, darah yang mengalir di tubuh Ahmad Khatib berasal dari
golongan ulama dan kaum adat. Unsur ulamalah yang kemudian memainkan peranan
lebih penting dalam hidupnya, dan kelak bahkan dia menantang beberapa unsur dan
kedudukan golongan adat. Ibunya adalah adik ibu Syekh Taher Jalaluddin
(1869-1956). Dia juga punya seorang keponakan yang kelak menjadi orang besar di
Republik. Namanya Haji Agus Salim.
Pada usia yang masih muda sekali, Ahmad Khatib dibawa ayahnya ke Mekkah dan
kemudian bermukim di sana. Perkembangan karirnya di Mekkah digambarkan oleh
Hamka sebagai berikut:
“… pada tahun 1296, yaitu setelah 10 tahun dia di Mekkah, karena baik budi dan
luas ilmunya dan disayangi orang, beliau disayangi oleh seorang hartawan
Mekkah, bernam Syekh Saleh Kurdi, saudagar dan penjual kitab-kitab agama. Syekh
Saleh berasal dari keturunan Kurdi dan mazhab orang Kurdi adalah Syafi’i… Oleh
karena Syekh Sleh seorang hartawan dan baik hubungannya dengan pihak kerajaan
syarif-syarif di Mekkah, maka Ahmad Khatib dikenal oleh istana dan ulama-ulama
lain; dan memang sikap budi bahasanya dan keteguhan pribadinya menunjukkan pula
bahwa dia seorang yang berdarah dan berbudi bangsawan. Bintangnya cepat naik.
Menurut keterangan puteranya Abdul Hamid Al-Khatib, dalam satu jamuan makan
berbuka puasa di istana Syarif, ketika Syarif menjadi imam maghrib di sana, ada
bacaan yang salah, pemuda Ahmad Khatib yang menjadi makmum dengan serta merta
menegur kesalahanitu, sehingga sehabis shalat, Syarif bertanya kepada Syekh Saleh
Kurdi, siapa pemuda ini. Setelah diterangkan bahwa itu adalah menantunya,
Syarif memuji Syekh Saleh mendapat menantu pemuda yang begitu tampan, manis,
alim, dan berani. Inilah yang kelaknya menjadi pintu dia akan diangkat menjadi
imam dari golongan Syafi’i di Masjidil Haram dan kemudian ditambah lagi menjadi
khatib, merangkap pula menjadi Guru Besar, ulama yang diberi hak mengajar agama
di Masjidil Haram.
Menurut Snouck Hurgronje, tugas seorang Imam di Masjidil Haram cukup
terbatas: dia adalah hanya anggota dari suatu kelompok orang yang secara
bergiliran memimpin salat menurut Mazhab Syafi’i. Memang jarang sekali seorang
yang bukan Arab atau orang yang bukna berasal dari Mekkah diangkat menjadi
anggota tim ini.
Waktu Snouck Hurgronje bermukim di Mekkah (1884/5), Syekh Ahmad
Khatib belum begitu terkenal. Orientalis yang menyamar dengan nama Abdul
Ghaffar itu tidak menyebut namanya dalam buku tentang Mekah. Satu dasawarsa
kemudian, 1894, dan seterusnya barulah Snouck menulis laporan tentang Syekh
Khatib. Bahkan pada tahun 1904 Ahmad Khatib disebut sebagai: “Seorang yang
berasal dari Minangkabau, yang oleh orang Jawa di Mekkah dianggap sebagai ulama
yang paling berbakat dan berilmu di antara mereka. Semua orang di Indonesia
yang naik haji, mengunjungi dia”.
Menurut Haji Agus Salim dalam kuliahnya di Universitas Cornell pada
tahun 1953, Syekh Ahmad Khatib tidak mempunyai hubungan yang baik dengan Snouck
Hurgronje waktu dia mengunjungi Mekkah. Memang dalam buku Snouck Hurgronje
banyak tokoh yang menerima gambaran yang lengkap tetapi Ahmad Khatib tidak,
barangkali karena dia masih terlalu muda pada waktu itu. Pada tahun 1905 Snouck
Hurgronje dimintai pendapatnya tentang kemungkinan Agus Salim diangkat sebagai
pegawai Kedutaan di Jeddah dan Residen Riau pada waktu itu mengemukakan
keberatan: “Mungkin Agus Salim akan dipengaruhi oleh pamannya di Mekkah yang
begitu fanatik anti adat. Pada waktu itu Snouck Hurgronje tidak melihat bahaya
dalam posisi Agus Salim di Jeddah.
Boleh jadi Snouck tidak begitu menyukai Syekh Khatib. Bahkan orang
yang pernah menikahi mojang Priangan ini, dan punya anak pula tapi dia tidak
mengakui perkawinan dan otomatis anaknya itu di depan hukum Belanda, punya
pandangan yang miring terhadap mertua Syekh Khatib. Menurutnya Saleh Kurdi
seorang woekeraar, alias rentenir, yaitu orang yang meminjamkan uang
dengan bunga yang terlalu tinggi. Lantaran kaya sekali dia pernah menolong
Syarif yang sedang kesulitan uang. Dengan begitu dia pun menjadi cukup akrab
dengan penguasa Mekkah itu, dan bisa mendapatkan kedudukan terhormat untuk
menantunya. Memang pandangan Snouck Hurgronje tentang Ahmad Khatib ini penuh
dengan kritik tajam dan fitnah. Kritik ini mungkin didalangi oleh Sayid Usman
yang berpolemik dengan dia. Yang pasti, Saleh Kurdi juga aktif di bidang
penjualan buku dan penerbitan. Pada tahun 1926 Hamka pernah bekerja di
perusahaan percetakannya itu.
Seperti diungkapkan Karel Steenbrink (1984), sesudah Sarekat Islam
didirikan pada 1912, Sayid Usman, pegawai pemerintah Hindia Belanda yang
bertugas melancarkan pekerjaan Snouck Hurgronje, dan sudah begitu tua waktu
itu, masih bersedia mengarang brosur yang menentang organisasi ini. Judulnya
Menghentikan Rakyat Biasa dari Bergabung dengan Sarekat Islam. Dalam
tulisannya, ulama Betawi ini menuduh Sarekat Islam sebagai kelompok yang tidak
Islam sama sekali. Dia juga mencap bahwa Haji Umar Said Cokroaminoto (HOS
Tjokroaminoto), pemimpin organisasi ini, “tidaklah hidup sesuai dengan
norma-norma Islam” Brosur ini dikirimkan oleh pemerintah kolonial kepada guru-guru
agama di Pulau Jawa dan pulau-pulau lain di Indonesia. Dan Ahmad Khatib menolak
keras pendapat musuh lamanya itu. Kita ketahui, kelak keponakannya, Haji Agus
Salim, bergabung dengan Sarekat Islam dan menjadi orang penting di sini. Salah
satu peran terbesar Haji Agus Salim adalah membersihkan organisasi dari anasir
komunisme.
Ahmad Khatib memang tidak sekali-dua menyerang Belanda. Dalam
berbagai tulisannnya, Ahmad Khatib menyamakan Belanda dengan orang kafir yang
mengguncangkan agama islam di hati penganutnya. Dalam bukunya, Dhau as-Siraj
pada menyatakan Isra’ dan Mi’raj, yang diterbitkan tahun 1894, ia antara lain
menulis:
“Ketahuilah olehmu, bahwasanya hamba, tatkala mendengar daripada
ihwal saudara-saudara kita daripada orang Melayu yang telah bernama dengan
orang Islam, yang telah bercampur mereka itu dengan orang kafir, sebelum
mengetahui ia daripada agamanya lain daripada syahadat saja, dan menyatakanlah
orang putih itu padanya syubhat-syubhat pada agama Islam yang ada setengah dari
pada syubhat itu mi’raj Nabi kita kepada langit dan menerima pula orang jahil
akan demikian syubhat dan memungkiri pulalah ia akan mi’raj Nabi kita, karena
mengingat kata gurunya orang kafir itu karena jahilnya dengan hakekat agamanya
dan karena buta-butanya daripada ilmu dan karena itu adalah ia kepada barang
mana ditariknya oleh orang putih, niscaya tertariklah ia sertanya dan tiada
mengetahui ia akan bodohnya. Maka kasihlah hati hamba kepada mereka itu
mendengar hal mereka itu, karena telah jadi mereka itu dengan demikian itu
murtad, keluar daripada agama Islam dan tiadalah harus bahwa disembahyangkan
mereka itu kemudian daripada mati…”
Ahmad Khatib wafat pada tahun 1916 dalam usia sekitar 60 tahun. Pada
waktu itu diskusi antara “kaum tua” dan “kaum muda” baru mulai, dan belum jelas
juga siapa yang akhirnya akan masuk salah satu golongan. Oleh karena itu tidak
mustahil bila dia masih berubah pendapatnya andaikata dikaruniai usia yang
lebih panjang
c.
Karangan - Karangannya
Beliau mengarang Raudah al-Hussab fi ‘Ilm al-Hisab, membahas ilmu
berhitung dan ilmu ukur, terutama sebagai ilmu bantu untuk hukum Islam, dan Al
Jawahir al Naqiyyah fi’l A’mal al Jaibiyyah, berupa pedoman untuk pengetahuan
tentang tanggal dan kronologi. Kedua kitab ini diterbitkan di Kairo,
masing-masing tahun 1310/1892 dan tahun 1309/1891.
Kita tambahkan, beliau antara lain juga mengarang Kitab Riyadu’i
Wardiyah fi-Usulit-Tauhid w’l Furi’il Fiqh”, yang bisa dianggap sebagai pedoman
praktis untuk ilmu aqidah dan syari’ah. Dari karangan-karangannya itu, ditambah
kitab-kitabnya yang lain, Ahmad Khatib tampaknya tidak mencapai derajat
kesarjanaan yang dimiliki oleh Nawawi Banten. Dia mengarang karangan yang lebih
sederhana, tetapi karangan yang lebih dekat dengan diskusi sehari-hari,
sehingga cukup banyak karangannya yang boleh dianggap sangat relevan. Apalagi
sebagian besar karangannya ditulis dalam bahasa Melayu, sehingga merupakan
sumbangan dalam mendirikan Khazanah Islam dalam bahasa Indonesia
- Prof. Dr. Muhammad Quraish
Shihab
a.
Riwayat hidup Prof. Dr. Muhammad
Quraish Shihab
Muhammad Quraish Shihab lahir di Rappang, Sulawesi Selatan, pada 16
Februari 1944. Setelah menyelesaikan pendidikan dasarnya di Ujung Pandang, dia
melanjutkan pendidikan menengahnya di Malang, sambil "nyantri" di
Pondok Pesantren Darul-Hadits Al-Faqihiyyah. Pada 1958, dia berangkat ke Kairo,
Mesir, dan diterima di kelas II Tsanawiyyah Al-Azhar. Pada 1967, dia meraih
gelar Lc (S-1) pada Fakultas Ushuluddin Jurusan Tafsir dan Hadis Universitas
Al-Azhar. Kemudian dia melanjutkan pendidikannya di fakultas yang sama, dan
pada 1969 meraih gelar MA untuk spesialisasi bidang Tafsir Al-Quran dengan
tesis berjudul Al-I 'jaz Al-Tasyri'iy li Al-Qur an Al-Karim.
Sekembalinya ke Ujung Pandang, Quraish Shihab dipercayakan untuk
menjabat Wakil Rektor bidang Akademis dan Kemahasiswaan pada IAIN Alauddin,
Ujung Pandang. Selain itu, dia juga diserahi jabatan-jabatan lain, baik di
dalam kampus seperti Koordinator Perguruan Tinggi Swasta (Wilayah VII Indonesia
Bagian Timur), maupun di luar kampus seperti Pembantu Pimpinan Kepolisian
Indonesia Timur dalam bidang pembinaan mental. Selama di Ujung Pandang ini, dia
juga sempat melakukan berbagai penelitian; antara lain, penelitian dengan tema
"Penerapan Kerukunan Hidup Beragama di Indonesia Timur" (1975)
dan "Masalah Wakaf Sulawesi Selatan" (1978).
Pada 1980, Quraish Shihab kembali ke Kairo dan melanjutkan
pendidikannya di almamaternya yang lama, Universitas Al-Azhar. Pada 1982,
dengan disertasi berjudul Nazhm Al-Durar li Al-Biqa'iy, Tahqiq wa Dirasah,
dia berhasil meraih gelar doktor dalam ilmu-ilmu Al-Quran dengan yudisium Summa
Cum Laude disertai penghargaan tingkat I (mumtat ma'a martabat al-syaraf
al-'ula).
Sekembalinya ke Indonesia, sejak 1984, Quraish Shihab ditugaskan di
Fakultas Ushuluddin dan Fakultas Pasca-Sarjana IAIN Syarif Hidayatullah,
Jakarta. Selain itu, di luar kampus, dia juga dipercayakan untuk menduduki
berbagai jabatan. Antara lain: Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat (sejak
1984); Anggota Lajnah Pentashih Al-Quran Departemen Agama (sejak 1989); Anggota
Badan Pertimbangan Pendidikan Nasional (sejak 1989), dan Ketua Lembaga
Pengembangan. Dia juga banyak terlibat dalam beberapa organisasi profesional;
antara lain: Pengurus Perhimpunan Ilmu-ilmu Syari'ah; Pengurus Konsorsium
Ilmu-ilmu Agama Departemen Pendidikan dan Kebudayaan; dan Asisten Ketua Umum
Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI).
Di sela-sela segala kesibukannya itu, dia juga terlibat dalam
berbagai kegiatan ilmiah di dalam maupun luar negeri. Yang tidak kalah
pentingnya, Quraish Shihab juga aktif dalam kegiatan tulis-menulis. Di surat
kabar Pelita, pada setiap hari Rabu dia menulis dalam rubrik "Pelita
Hati." Dia juga mengasuh rubrik "Tafsir Al-Amanah" dalam majalah
dua mingguan yang terbit di Jakarta, Amanah. Selain itu, dia juga tercatat
sebagai anggota Dewan Redaksi majalah Ulumul Qur'an dan Mimbar Ulama, keduanya
terbit di Jakarta. Selain kontribusinya untuk berbagai buku suntingan dan
jurnal-jurnal ilmiah, hingga kini sudah tiga bukunya diterbitkan, yaitu Tafsir
Al-Manar, Keistimewaan dan Kelemahannya (Ujung Pandang: IAIN Alauddin,
1984); Filsafat Hukum Islam (Jakarta: Departemen Agama, 1987); dan Mahhota
Tuntunan Ilahi (Tafsir Surat Al-Fatihah) (Jakarta: Untagma, 1988).
- Imam Hasan Mustapa
a. Riwayat Imam Hasan Mustapa
Hasan Mustapa,
masyarakat Sunda menyebutnya Penghulu Haji Hasan Mustapa, lahir di Cikajang
Kabupaten Garut (Jawa Barat) pada tanggal 3 Juni 1852 M., bertepatan dengan 14
Sya’ban (Rewah) 1268 H. Dan, meninggal di Bandung, pada tanggal 13 Januari 1930
M., bertepatan dengan tanggal 12 Sya’ban 1348, dalam usia 80 tahun, atau 78
tahun berdasarkan hitungan tahun Masehi.
Nama Hasan Mustapa, diberikan oleh ayah dan kakeknya.
Hasan nama yang diberikan oleh ayahnya, dan Mustapa Nama yang diberikan
kakeknya. Ayahnya bernama Mas Sastramanggala (Haji Usman) Camat kontrakan teh
Cikajang, Garut. Dan, merupakan keturunan Bupati Parakanmuncang, yaitu
Tumenggung Wiratanubaya. Sedangkan ibunya, bernama Nyi Mas Salpah (Emeh), putri
Mas Kartapraja, Camat Kontrakan teh Cikajang, dan masih keturunan Dalem Sunan
Pagerjaya dari Suci, Garut.
Dengan demikian,
berdasarkan silsilah tersebut, baik dari pihak ayah, maupun ibu, merupakan
keturunan priayi. Bahkan, menurut silsilah Para Bupati Sukapura, Hasan Mustapa,
merupakan keturunan dari para Bupati Sukapura. Terjadi peralihan yang menarik
pada jalur kehidupan Hasan Mustapa, yaitu dari tradisi kehidupan kepriayian
(sebagai keluarga Camat dan keturunan Bupati Sukapura), ke tradisi kehidupan
pesantren. Peralihan ini sebenarnya tidak terlalu aneh bila melihat tradisi
Sukapura, yang pada jalur awal para Bupati Sukapura sangat mengindahkan
wejangan dari para Kyai, khususnya Syekh Abdul Muhyi. Bahkan salah seorang
Bupati Sukapura ini merupakan murid dan anak angkat Syekh Abdul Muhyi Pamijahan,
yaitu Subangmanggala, anak kandung Kangjeng Dalem Anggadipa yang dikenal dengan
nama Dalem Sawidak.
Melihat silsilah
tersebut, maka tampak bahwa tradisi kehidupan pesantren (tradisi keislaman) dan
budaya tradisional Sunda, bukanlah hal yang asing bagi Hasan Mustapa. Secara
pribadi, tradisi kepesantrenan pada Hasan Mustapa, dimulai tatkala kedua orang
tuanya berkeinginan kuat untuk menjadikan anaknya seorang ulama. Diceritakan
bahwa kedua orang tuanya melakukan ber-nadzar dan berpuasa sunat Senin-Kamis dan
melakukan tirakat selama lima tahun, tanpa henti.
Sejak kecil Hasan
Mustapa dididik oleh orang tuanya belajar mengaji dan sembahyang, dan dari
ayahnya pertama kali dia mengenal ngaji dan sembahyang. Pada umur tujuh tahun,
dia dititipkan pada salah seorang Kyai yang bernama Hasan Basri, dari
Kiarakoneng. Kyai Hasan Basri adalah salah seorang ahli Qira’at, dan beliau
pernah berpendapat bahwa pelajaran membaca al Qur’an adalah merupakan dasar
pelajaran agama. Dari Kyai Hasan Basrilah Hasan Mustapa mulai belajar membaca
Al Qur’an dengan baik.
Pada usia 8 tahun Hasan
Mustapa pernah dimasukkan ke Sekolah Kabupaten oleh Tuan Holle, dan ayahnya
tidak merestui serta memohon kepada Tuan Holle agar anaknya tidak dimasukkan ke
sekolah tersebut. Salah satu alasannya karena Hasan Mustapa akan diajak olehnya
berziarah ke Tanah Suci (Mekah). Semula Tuan Holle tidak dapat mengabulkan
keinginan ayahnya itu, karena Tuan Holle mengharapkan agar Hasan Mustapa dapat
bersekolah dengan para putera priyayi lainnya. Tetapi lama-lama Hasan Mustapa
diizinkannya pula untuk mengikuti ayahnya berziarah ke Mekah.
Di Mekah dia sempat
berguru kepada Syeh Mukri. Dalam waktu yang singkat itu, dia hanya mendapatkan
bacaan Fatihah dan Attahiyat serta bahasa Arab sedikit-sedikit. Sekembalinya ke
Tanah Air, belajar ngajinya dilanjutkan kembali. Berkat pelajaran yang diterima
dari Kyai Hasan Basri, dia sangat hapal akan isi Al Qur’an, sehingga dapat
menyebutkan sesuatu ayat di luar kepala.
Setelah itu dia berganti-ganti guru dan tempat mengaji.
Mula-mula dia mempelajari dasar-dasar sharaf dan nahwu kepada Rd H. Yahya,
seorang pensiunan Penghulu di Garut. Lalu pindah lagi ke tempat yang agak jauh,
yaitu ke Tanjungsari, Sumedang, untuk berguru kepada Kyai Abdul Hasan dari
Sawahdadap. Dari Kyai Abdul Hasan dia memperoleh pelajaran ilmu sharaf, nahwu,
dan fiqh. Dari Sumedang kembali lagi ke Garut untuk berguru kepada Kyai
Muhammad, dan Kyai Muhammad Ijrai. Kyai lain yang diduga menjadi gurunya ialah
Kyai Abdul Kahar (Surabaya) dan Kyai Halil (Madura), juga kyai Indonesia lain
yang berada di Mekah seperti Syekh Nawawi Banten, Abdullah Al-Zawawi,
Hasbullah, Syekh Abubakar Al-Satha.
Dalam buku Aji Wiwitan, Hasan Mustapa menyebutkan bahwa ia
telah mendalami enam belas macam ilmu, di antaranya adalah: Ushul, Tasawuf dan
Tauhid. Dalam bukunya disebutkan pula bahwa ia telah memperdalam ilmunya ke
Mekah, antara lain belajar kepada Syeh Muhammad, Syeh Abdulhamid, Syeh Ali
Rahbani, Syeh Umar Sani, Syeh Mustomal Afifi, sayid Bakir, dan Sayid Abdul
Janawi.
Dari latar belakang pendidikannya dapat disimpulkan bahwa
Hasan Mustapa dibesarkan di lingkungan pesantren, dan memperoleh pendewasaan
pendidikannya di Mekah. Selama delapan tahun dia bermukim di Mekah, dan baru
pulang ke tanah air ketika berusia 30 tahun, pada tahun 1882. Selama 10 tahun
di Mekah itu, ia berkenalan dengan Snouck. Selanjutnya kembali ke Garut dalam
keadaan ayahnya telah meninggal. Ia tinggal di Garut selama tujuh tahun dan
telah dikenal sebagai kyai. Kemudian ia oleh diajak Snouck untuk mengembara ke
beberapa tempat dan akhirnya diangkat jadi Penghulu di Aceh, dan kemudian jadi
Penghulu di Bandung hingga pensiun.
b.
Perhatiannya dalam hadist
Pada bagian ini akan
dikemukakan sejumlah peran sosial Hasan Mustapa dalam masyarakat Sunda secara
umum, khususnya masyarakat Muslim Sunda. Peran sosial tersebut meliputi peran
Hasan Mustapa dalam pekerjaan resminya sebagai Penghulu Agama pada pemerintahan
Belanda, atau di luar pekerjaannya.
Menurut Wangsaatmadja ,
pada tahun 1882 Hasan Mustapa dipanggil pulang ke Garut oleh R. H. Muhammad
Musa, Hoofd Penghulu Garut pada masa itu. Hasan Mustapa diberi tugas untuk
meredakan ketegangan-ketegangan di antara para ulama di Garut akibat pertentangan
paham di antara mereka.
Selama tujuh tahun
Hasan Mustapa memberikan pelajaran agama secara bergiliran siang dan malam,
terutama di Mesjid Agung Garut. Tidak sedikit ulama yang sengaja datang untuk
berguru kepadanya, dan berkat usahanya dan dibantu oleh R.H. Muhammad Musa dan
Holle, bentrokan paham antara para ulama di Garut dapat diredakan.
Ketika itu Hasan
Mustapa telah banyak berkenalan dengan para orientalis Belanda, di antaranya
Holle, Brandes, Rinkes, dan Snouck Hurgronye. Karena pengetahuannya yang luas
tentang masalah agama Islam, pada tahun 1889 Snouck Hurgronye meminta Hasan
Mustapa untuk mendampinginya dalam perjalanan keliling Jawa dan Madura. Saat
itu, Snouck adalah penasihat pemerintah Belanda tentang masalah-masalah orang
Indonesia dan Arab. Catatan perjalanan Snouck itu dimuat dalam BKI nomor 101
tahun 1942 halaman 311-324 dengan judul Aantekeningen over Islam en Volklore in
West en Midden Java.
Snouck Hurgronye
sebetulnya telah mengenal Hasan Mustapa semenjak masih bermukim di Mekah, dan
konon pernah ditolong oleh Hasan Mustapa ketika Snouck akan dibunuh oleh
orang-orang Arab. Semenjak itulah Hasan Mustapa menjadi sahabat karibnya,
bahkan ketika Snouck pulang ke negerinya, mereka masih tetap berhubungan sampai
Hasan Mustapa meninggal.
Selama tujuh tahun
Hasan Mustapa menjadi pembantu Snouck Hurgronye, dan pada tahun 1893 atas usul
Snouck, Pemerintah Belanda mengangkatnya menjadi Hoofd Penghulu di Aceh.
Menurut penuturan Awak-awak Galih Pakuan, pada waktu itu
setiap penghulu yang bertugas di Aceh sering dibunuh orang, karena dianggap
tidak dapat berlaku adil di dalam menyelesaikan sesuatu masalah atau
persengketaan di antara mereka. Pada masa itu, seorang Hoofd Penghulu di
samping menjadi seorang pemuka agama, juga turut memberikan keputusan di dalam
masalah hukum dan mereka biasa disebut Kadi.
Di Aceh pada waktu itu,
bila seseorang dikalahkan dalam sesuatu perkara, maka orang yang kalah akan
bertanya, berdasarkan hukum apa, ayat berapa, ia dianggap bersalah? Bila Kadi
tersebut tidak dapat memberikan jawaban yang memuaskan hatinya, maka Kadi itu
dianggap berat sebelah, tidak adil, sehingga ada kalanya Kadi itu dibunuh.
Menurut penilaian
Pemerintah Belanda, orang yang menjadi Hoofd Penghulu Aceh, haruslah orang yang
cerdas, pandai dalam ilmu hukum di samping menguasai ilmu agama secara
mendalam. Berdasarkan pendapat Snouck Hurgronye, maka orang yang tepat untuk
jabatan tersebut adalah Haji Hasan Mustapa.
Hasan Mustapa bersedia memikul tugas tersebut dengan
mengajukan dua syarat:
1) Ia harus dipercayai sepenuhnya. Segala
perkataan, perbuatan, dan tulisan-tulisannya jangan diganggu. Kesanggupan
Pemerintahan Belanda memenuhi persyaratan pertama ini harus dinyatakan secara
tertulis.
2)
Bila ia
telah berhasil dengan tugasnya di Aceh, dan bila nanti ada lowongan Jabatan Hoofd
Penghulu Bandung, dia minta agar ditempatkan di Bandung.
Syarat pertama segera
dikabulkan dengan keluarnya surat kepercayaan dari Ratu Wihelmina. Tahun 1893
Hasan Mustapa secara resmi diangkat menjadi Hoofd Penghulu di Aceh.
Sebagai Hoofd Penghulu di Aceh, Hasan Mustapa telah
menjalankan tugasnya dengan baik. Masyarakat Aceh pun merasa puas atas
keputusan-keputusan yang dia berikan dalam persengketaan-persengketaan yang
timbul. Hal ini disebabkan dia menguasai dan hapal betul akan hukum-hukum Islam
yang menjadi dasar keputusan semua perkara. Dan sebagai tanda terima kasih,
rakyat Aceh telah memberikan sebidang tanah kepada dia. Di atas tanah itu, dia
membangun sebuah masjid.
Jabatan Hoofd
Penghulu Aceh dipegang dalam waktu yang singkat, yaitu dua tahun. Pada tahun
1895 dia kembali ke tanah Priangan untuk memangku jabatan Hoofd Penghulu
Bandung. Jabatan Hoofd Penghulu Bandung dilaluinya dalam waktu dua puluh
tiga tahun, dan pada tahun 1918 atas permintaan sendiri dia diberhentikan
dengan hormat, dan memperoleh hak pensiun. Pada waktu itu usianya kurang lebih
66 tahun.
Menurut Kern, seperti
dikutip Tini Kartini, ketika masih bermukim di Mekah Hasan Mustapa telah
mengajar ulama-ulama yang berdatangan dari seluruh Jawa. Ia mengajar bahasa
Arab dan soal-soal keagamaan. Oleh karena itu ia cukup dikenal dan dihormati
oleh ulama-ulama di seluruh Jawa, dan menjadi tempat bertanya serta tempat
meminta nasihat bagi penghulu-penghulu Priangan.
Salah satu alasan yang bisa diungkap yang menjadi penyebab
Hasan Mustapa meminta berhenti sebelum masa baktinya selesai sebagai pejabat Hoofd
Penghulu Bandung, adalah karena hubungannya dengan golongan Kabupaten maupun
dengan golongan Kaum tidaklah begitu akrab. Hal itu ditandai, misalnya, ketika
sebuah panitia yang bernama “Comite Mendakna Hadji Hasan Moestapa”
(Panitia Peringatan Wafatnya Haji Hasan Mustapa) didirikan di Bandung, tak
seorang pun dari golongan Kaum yang menjadi anggotanya.
Walaupun Hasan Mustapa disegani dan dikagumi keahliannya,
baik dalam bidang agama maupun dalam bidang bahasa dan adat istiadat Sunda,
namun kelihatannya mereka mengambil jarak dan tidak terlalu dekat dengannya.
Diduga penyebabnya adalah karena sikap dan paham agama mereka.
Sebagai Hoofd Penghulu,
Hasan Mustapa adalah pegawai Pemerintah. Walaupun demikian Hasan Mustapa
bukanlah pegawai yang mau menaati segala perintah dan kemauan atasannya begitu
saja, tanpa memperhitungkan pendapat dan kepribadiannya. Hal ini dapat kita
lihat antara lain dari pernyataan-pernyataan yang diajukannya ketika ia akan
diangkat menjadi Hoofd Penghulu di Aceh; dan dari penolakannya yang tegas
terhadap ajakan Pemerintah Belanda yang menginginkan agar penganut agama Islam
diperkenankan pula mempelajari agama Kristen.
Wangsaatmadja dalam
Bukunya yang berjudul Singa Bandung (1930:31), secara teperinci telah
menguraikan sifat dan sikap hidupnya. Antara lain disebutkan bahwa dia adalah
seorang yang memiliki sifat luar biasa. Ketabahan dan kesabarannya dikagumi
oleh semua yang mengenalnya. Selain itu ia memiliki firasat dan intuisi yang
tajam, hingga tidak jarang ia mengetahui apa yang diinginkan atau yang menjadi
pikiran orang lain tanpa diutarakan dahulu kepadanya.
Dia pun dikenal sebagai
orang yang teguh pada pendiriannya, serta berani mengemukakan pendapat dan
pendiriannya itu kepada siapa pun. Bahkan berani pula ia menentang pendirian
dan kehendak atasannya bila menurut pendapatnya tindakan atasannya itu tidak sesuai
dengan hati nuraninya. Hal ini dapat dilihat dari penolakannya yang tegas
terhadap ajakan pemerintah Belanda ketika itu yang menginginkan agar penganut
agama Islam diijinkan pula untuk mempelajari agama Kristen, dan usahanya yang
berhasil dalam mengusir rumah makan Cina dari sekeliling Masjid Agung Bandung,
karena menurut pendapatnya tidak pantas tempat orang Islam bersembahyang
dikeliling bau masakan babi. Tidak jarang pula buah pikiran dan perkataannya
mengejutkan Bupati beserta bawahannya, sebab perkataannya itu merupakan
sindiran halus yang bermakna dalam.
Dia pun dikenal sebagai
seorang putera yang sangat hormat dan berbakti kepada orang tuanya. Di samping
itu, ia adalah orang yang sangat pemurah dan pengasih, baik kepada sanak
keluarganya sendiri, maupun kepada orang lain bahkan kepada pembantu rumah
tangganya.
Sebagai ulama yang luas dan dalam ilmunya, dengan tangan
terbuka dan hati yang bersih dia selalu menerima semua orang yang
bersungguh-sungguh ingin belajar kepadanya. Namun demikian ia tidak pernah mau
dianggap dan disebut guru oleh semua yang datang belajar kepadanya. Menurut
pendapatnya agar mereka bertanggung jawab pada dirinya masing-masing, dan
supaya bisa mengembangkan dirinya sendiri.
Dari karya-karyanya
dapatlah dilihat bahwa dia adalah seorang pribadi yang amat tanggap, perenung
yang mendalam dan seorang yang berani mengemukakan pendapatnya sendiri. Hal ini
dapat dilihat dari catatan-catatan peristiwa yang sering dicantumkan dalam
karya-karyanya, misalnya berlangsung kongres Sarikat Islam di Bandung pada
tahun 1916, meninggalnya seorang mufti besar yang berasal dari Mesir dalam
kerusuhan di luar kota Mekah pada tahun 1924, sebab-sebab berjangkitnya
penyakit kuris yang sering melanda para jemaah haji dari Indonesia, dan banyak
lagi . Sedangkan renugan-renungannya dapat dibaca dalam dangding-dangdingnya
dan dalam Syeh Nur Jaman.
Dari anekdot-anekdotnya
yang telah dihimpun oleh Wangsaatmadja dalam Singa Bandung, dan dari
kalimat-kalimat yang sering diselipkan dalam bahasa-bahasanya, dia memiliki
rasa humor yang halus, cerdas dan tajam otaknya. Pendapat dan buah pikirannya
selalu dilandasi dengan argumentasi yang kuat. Oleh karena itu dia dikagumi dan
disegani baik oleh lawan, apa lagi pengagumnya.
Dalam tulisan-tulisannya, dia sering menganjurkan agar
selalu sabar dan tawakal, serta memelihara kedamaian dalam hidup bermasyarakat.
Sifat dan sikap hidupnya sering pula diungkapkan secara eksplisit dalam
karya-karyanya. Misalnya, dalam salah satu karyanya pernah mengungkapkan kata
–kata sebagai berikut:
Kaula ayeuna
ngawakcakeun jalan karahayuan, yen urang sugria manusa kajajaden taya nu boga.
Pusakana nyaah ka sasama, jadi rapih pada sili pihapekeun diri, rumasa pada
dadasar sabar tawekal.
Artinya: sekarang saya
menjelaskan jalan kesejahteraan, yaitu kita semua yang merupakan manusia
ciptaan tidak ada yang memiliki. Azimatnya sayang kepada sesama, damai saling
menitipkan diri, merasa berdasar pada sikap sabar-tabah).
Satu lagi contoh sikap
hidupnya yang dia ungkapkan dalam buku Syeh nur Jaman (1958: 7), berbunyi
seperti berikut:
“Lamun jalma kudu ngagugu kabeh kana kahayang batur,
tangtu ripuh nu ngagugu, ngeunah nu digugu. Lamun jalma embung ngagugugu kana
kahayang batur, tangtu ripuh nu hayang digugu, ngeunah nu embung ngagugu. Anu
matak rapihna lamun silih gugu, satengah jeung satengah, sakadar henteu matak
ripuh sala saurang.”
Artinya: Kalau orang
harus menurut saja pada kehendak orang lain, pasti susah yang harus menurut,
senang yang diturut. Kalau orang tidak mau menuruti kehendak orang lain, pasti
susah yang minta diturut, senang yang tidak mau menurut. Oleh karena itu,
sebaiknya saling turut, setengah-setengah, agar salah satu pihak tidak rugi
c.
karya-karya
hasan mustapa
Selain dikenal sebagai
Hoofd Penghulu yang cerdik dan luas pengetahuannya, baik tentang agama maupun
tentang kebudayaan Sunda. Dia dikenal juga sebagai pengarang besar yang jumlah
dan nilai karyanya besar pula. Karena itu, Hasan Mustapa sangat dikenal di
masyarakat Sunda tidak hanya sebagai pegawai pemerintah namun juga sebagai
budayawan, terutama di kalangan budayawan. Ia dianggap sebagai bujangga Sunda
yang belum ada bandingannya sampai saat ini. Beberapa puisinya yang berbentuk
dangding dikenal secara lisan, juga lelucon-leluconnya sering diperbincangkan.
Sampai-sampai sikap hidupnya diketahui umum, mungkin bersumber dari seorang
penutur, atau dari buku-buku yang sempat beredar, di antaranya buku Bale
Bandung, dan Syeh Nurjaman.
Orang menduga bahwa dia mulai mengarang setelah kembali
dari Aceh. Sedangkan Wangsaatmadja menyebutkan bahwa ketika masih bermukim di
Mekah dia telah menulis buku kecil dalam bahasa Arab berjudul Fathul Muin yang
diterbitkan di Mesir. Juga Kern menyebutkan bahwa semasa dia bermukim di Mekah
pernah menulis buku-bulu tentang agama dan puisi Arab yang diterbitkan di
Kairo.
Berdasarkan karya-karyanya yang dapat dikumpulkan, dapat
dikatakan bahwa dia produktif menulis setelah menjadi Hoofd Penghulu Bandung
dan setelah menjalani pensiunnya. Bahkan menurut Wangsaatmadja (1930: 17) dua
puluh hari sebelum meninggal dia masih menyuruh Wangsaatmadja menuliskan buah
pikirannya dalam buku hariannya.
Dari karya-karya yang
berhasil dikumpulkan, bahwa karya yang pertama ditulisnya berangka tahun 1899,
yakni naskah yang berjudul Aji Wiwitan Gelaran, Buku jilid ka-3, dan yang
terakhir adalah Aji Wiwitan Aji Saka II, Buku jilid ka-14 yang menurut
Wangsaatmadja merupakan kumpulan perkataannya pada masa akhir hayatnya.
Dalam masa 31 tahun
berkarya, terhitung dari tahun 1899 sampai 1930, dia telah menghasilkan
berpuluh karya yang berisi buah pikiran, perasaan, dan tanggapannya tentang:
Agama, Tasawuf, Filsafat, adat kebiasaan orang Sunda, serta peristiwa-peristiwa
yang dialaminya. Yang tercatat dan berhasil dikumpulkan berjumlah 49 buah. Dari
seluruh karya-karyanya yang banyak dikagumi dan dibicarakan adalah puisi
dangdingnya yang berjumlah kurang lebih 10000 ribu bait.
Sebagai pengarang
besar, gaya berpuisi dia banyak ditiru, terutama oleh pengarang-pengarang Sunda
setelah perang. Sedang karyanya tentang adat dan kebudayaan Sunda, banyak
menarik perhataian orientalis Belanda, sehingga Kern menerjemahkannya ke dalam
Bahasa Belanda.
Sebagai pengarang yang
banyak menulis masalah-masalah agama dan tasawuf, ia tidak saja dikenal
masyarakat Sunda, tetapi dikenal juga oleh ulama dan ahli tarekat Jawa, Madura,
bahkan sampai Irak, Mesir dan Kuala Lumpur. Dia juga telah diakui kebesaran dan
jasanya oleh pemerintah, sehingga pada tahun 1977 telah dianugerahi Piagam
Hadiah Seni oleh Belanda, dan Piagam Penghargaan dari Propinsi Daerah Tingkat I
Propinsi Jawa Barat pada tahun 1965.
Setelah menjalani masa
pensiun, pada waktu-waktu tertentu dia memberikan pelajaran tentang agama dan
tasawuf dalam pertemuan-pertemuan informal. Pertemuan semacam itu kadang-kadang
diadakan di rumahnya, kadang-kadang di tempat lain, di rumah seseorang yang
berkenan untuk mendengarkan pembicaraannya.
Pertemuan seperti itu
oleh ia disebutnya “ngawarung bandung”. Dalam menyampaikan
ajaran-ajarannya dia tidak pernah merasa dan tidak mau menggurui. Mereka yang
mengikuti pertemuan itu tidak mengakui sebagai muridnya, hanya pengagum saja,
sebab menurut pendapatnya bila seseorang berguru kepada orang lain, kepribadian
orang itu tidak akan berkembang. Dia menginginkan agar setiap orang bebas
mengemukakan dan mencernak segala pendapat dan buah pikirannya secara bebas
menurut kemampuannya masing-masing. Oleh karena itu setiap orang yang
mengikuti ngawarung bandung sering berbeda dalam menafsir pendapat serta
buah pikirannya.
Hal ini dapat dilihat
dari beberapa sikap para pengagumnya dalam menafsirkan ajaran-ajarannya. Konon
di antara pengagumnya yang terdekat adalah Ajengan Bangkonol, dan Kyai Kurdi
dari Singaparna. Dituturkan bahwa Ajengan Bangkonol, setelah mendengar
ajaran-ajaran agama dan tasawuf, segera membubarkan pesantrennya dan merobek
bedug yang ada di mesjidnya, karena merasa berdosa telah mengajarkan faham
agama yang menurut pendapatnya salah. Kemudian Ajengan Bangkonol ini menjadi
pengikutnya yang setia.
Lain lagi halnya dengan Kiyai Kurdi, setelah mendengar
ajaran-ajaran agama dan tasawuf, pesantrennya malah diperbesar dan santrinya
makin banyak. Kyai Kurdi pun merupakan pengikut Haji Hasan Mustapa yang setia.
Tidak diketahui aliran
tarekat apakah yang dianut dan diajarkannya. Beberapa orang menyebutkan bahwa
dia menguasai semua aliran tarekat, tetapi tidak mengambil salah satu dari
padanya. Sebagian lagi mengatakan bahwa aliran Satariahlah yang dianutnya.
Tetapi yang jelas dalam karya-karyanya sering menyebut-nyebut Al Ghazali
sebagai suri yang dikaguminya. Pernyataannya ini dapat dibaca dalam bukunya Aji
Wiwitan Istilah, Buku jilid ka-1; dan Aji Wiwitan Aji saka, Buku jilid ka-14.
Pada umumnya
karya-karya Hasan Mustapa merupakan perpaduan yang kompleks dari tanggapan, renungan
dan lontaran pendapatnya terhadap bermacam-macam pengetahuan yang amat
disukainya, yakni: agama Islam, tasawuf, kebudayaan Sunda, otobiografi, dan
peristiwa-peristiwa yang dialaminya. Ketika membaca karya-karyanya, apapun
topiknya, kita seakan-akan berhadapan dengan seorang pribadi yang sangat
tanggap, perenung yang mendalam, dan manusia yang berani mengemukakan
pendapatnya sendiri.
Kadang-kadang
perhatiannya loncat-loncat dari topik yang satu ke topik yang lain, hal ini
mungkin karena ia banyak mengetahui permasalahan yang ada di sepanjang
kehidupannya. Ditambah dengan kecenderungannya yang ingin menjelaskan sesuatu
hal dengan cara berbahasa yang khas, menggunakan simbol dan imajinasi dengan
perbendaharaan bahasa yang amat kaya. Inilah salah satu sebab mengapa memahami
karya-karyanya terasa sulit. Selain itu umumnya bahasa yang digunakannya adalah
bahasa lisan, sehingga sulit bagi pembaca untuk memberi makna yang sesungguhnya
dari karya-karyanya.
Tidak heran bila sering
terjadi penafsiran yang berbeda di antara pembaca karya-karyanya. Mungkin
karena pembaca belum paham akan isi bahasanya, atau karya sastranya. Atau
mungkin juga karena karyanya itu banyak mengandung ambiguitas, terutama
karya-karya yang sarat dengan nilai keagamaan dan tasawuf.
Adanya ambiguitas tersebut terutama pada bagian-bagian
yang melukiskan sesuatu dengan simbol atau imaji yang sudah barang tentu
diwarnai dengan kata-kata yang berkonotasi. Pada naskah-naskah yang sebenarnya
merupakan bahasan, lebih-lebih bahasan agama dan tasawuf, banyak terdapat
simbol dan imaji. Hal ini mungkin akan menyulitkan pemahaman bila pembaca telah
terbiasa membaca bahasan yang mempergunakan bahasan lugas.
Lebih sulit lagi
memahami puisinya, terutama dalam hal menentukan pokok (subjek) dan arti
(sense) yang terkandung di dalamnya. Seakan-akan yang tampak dalam puisinya itu
lontaran rasa (feeling) dan nada (tone) semata-mata. Bahkan ada
kalanya menimbulkan kesan terlalu banyak mempergunakan permainan kata. Baginya
kata-kata Sunda tampak begitu “jinak” sehingga dapat dibawa ke arah yang
disukainya untuk melukiskan perasannya.
Sejumlah karya-karya yang dihasilkan Hasan Mustapa
mengundang banyak komentar dan tanggapan. Beberapa di antaranya akan disebutkan
berikut ini. D.K. Ardiwinata salah seorang ahli bahasa dan pengarang Sunda
terkenal sebelum perang, dalam pembukaan Buku Carita Jeung Sajarah Juragan Haji
Hasan Mustapa, Wangsaatmadja, menyebutkan bahwa Hasan Mustapa adalah seorang
yang luas pengetahuannya baik tentang bahasa dan adat-adat Sunda. Di samping
itu, menurut pendapat Ardiwinata dia adalah orang yang amat cerdas dan pandai
mengemukakan pendapat dengan argumentasi yang kuat, sehingga orang sukar untuk
mendebatnya.
Snouck Hurgronye, salah
seorang orientalis Belanda yang bertahun-tahun mengenal dan menjadi sahabat
setianya, menganggap dia sebagai orang yang sangat bijaksana dan cerdas (Kern,
1946: VI). M.I. Prawirawinata yang sering menerbitkan karya-karya Hasan Mustapa
dan pengarang-pengarang Sunda sebelum perang, dalam kata pengantar buku Hasan
Mustapa yang berjudul Bale Bandung menyebutkan, bahwa Hasan Mustapa tidak saja
dikenal di tanah Priangan, tetapi dikenal juga di Palembang, bahkan sampai ke
Eropa. Kemasyhuran namanya disebabkan oleh pengetahuannya yang mendalam tentang
kebatinan dan kepujanggaan (Bale Bandung, 1924).
R.A.A. Wiranatakusumah, Bupati Bandung yang mengaguminya,
dalam kata pengantar bukunya yang diterbitkan tahun 1937 menyebutkan bahwa dia
adalah Pujangga besar yang buah pikiran dan karya-karyanya bermutu tinggi dan
sangat berguna bagi yang ingin mempelajarinya.
W. Wangsaatmadja,
Sekretaris pribadi yang selama tujuh tahun mendampinginya, menyebutkan bahwa
dia semasa hidupnya termasyhur sebagai orang pintar, dan ulama yang mengetahui
seluk-beluk agama dengan mendalam, serta masalah darigama yang tidak diketahui
oleh orang lain. Selanjutnya Wangsaatmadja menyebutkan karena pengetahuannya
yang luas dia menjadi tempat bertanya para cerdik cendekia asing, yaitu
Profesor-profesor dan Doktor-doktor.
Setelah Perang Dunia II, nama dan karyanya lebih banyak
dikenal dan dibicarakan di lingkungan pengarang-pengarang Sunda. Mereka umumnya
membicarakan dari sisi kesastrawanannya. Hanya satu dua yang menyinggung
karyanya dari segi agama.
Sepengetahuan peneliti, Utuy T. Sontanilah pengarang Sunda
sesudah perang, yang mula-mula membicarakan kedudukan Hasan Mustapa dalam
sastra Sunda, serta mengemukakan pendapat dan penilaiannya atas beberapa
dangding Hasan Mustapa dari segi sastra.
Menurut Utuy, Hasan Mustapa adalah pujangga Sunda modern
yang memiliki kepribadian mandiri di tengah-tengah pengarang sezamannya.
Disebut pujangga Sunda karena ia tetap berakar pada bumi Sunda, membawa suara
dan milik Ki Sunda; disebut modern, karena ia memiliki kesadaran akan kehadirannya
di tengah-tengah masyarakat modern yang individualistis. Selanjutnya Utuy
menyebutkan bahwa Hasan Mustapa adalah seorang individualis yang memiliki
kepribadian manusia Sunda yang besar, baik dalam pendangan kehidupan
batiniahnya, maupun dalam pandangan kehidupan lahirnya.
Karya-karyanya menurut
Utuy, jauh meninggalkan karya-karya pengarang sezamannya. Dalam karya-karyanya
tidak lagi menyuapi pembaca dengan nasihat, tetapi mengajak pembaca untuk
berpikir kreatif mencari kepribadian sendiri, agar tidak takut menentukan
pilihan. Oleh karena itu menurut Utuy, karya-karyanya tidak akan mungkin
diterbitkan oleh penerbit pemerintah jajahan masa itu, karena karya-karyanya
mengajarkan kebebasan berpikir kepada pembacanya.
Pengarang lain yang lebih luas mengupas karya-karyanya,
terutama dari sisi sastra adalah Ajip Rosidi. Pada umumnya pendapat Ajip
tentang Hasan Mustapa dan karya-karyanya hampir sama dengan pendapat Utuy,
hanya diungkapkan dalam uraian yang lebih luas. Ajip pun menyebutkan bahwa dia
adalah seorang yang individualistis (dalam karyanya) yang memiliki kepribadian
yang mandiri. Disebutkannya pula bahwa dia adalah pujangga Sunda yang yang
betuk-betuk kenal dan akrab dengan alam Sunda. Membaca karya-karyanya, orang
Sunda sendiri akan merasakan ketidakmampuan dirinya berbahasa Sunda
dibandingkan dengan kekayaan khazanah kata-kata Sunda yang dimilikinya, serta
kemahirannya menggunakan kata-kata.
Puisi dangding, yang
pada masa itu dianggap sebagai bentuk puisi yang harus ditataati
peraturan-peraturannya, serta diisi dengan ‘bahasa indah’ yang telah klise;
oleh dia telah diisi dengan bahasa yang plastis serta orisinil, hingga tidak
hilang sifat spontanitas dan kreativitasnya.
Selain itu Ajip
menyebutkan, bahwa di dalam menerima ajaran Islam dia berbeda sekali dengan
kebanyakan orang pada masa itu. Dia tidak menerima ajaran Islam dengan rohani
yang kosong, namun dengan rohani yang sudah sarat oleh bekal dari kehidupan dan
kekayaan rohani kebudayaan Sunda. Dongeng-dongeng serta sejarah-sejarah yang
dipetik dari babas kaislaman oleh dia diganti dengan riwayat-riwayat serta
tokoh-tokoh cerita yang dikenal oleh masyarakat Sunda masa itu, misalnya:
Hariang Banga, Ciung Wanara, Sunan Ambu, Prabu Siliwangi, Ratu Galuh, Dayang
Sumbi dan lain-lain.
Menurut Ajip, isi puisi dangding dan tulisan-tulisan Hasan
Mustapa, umumnya membawa ingatan orang pada isi dan bentuk cerita pantun,
mentera-mentera, suluk Sunda yang hidup dalam sastra Sunda lama.
Menurut pendapat Ajip Hasan Mustapa sebagai mistikus dan
filsuf Islam hanya dapat dihitung dan berkembang di lingkungan yang mengenal
jiwa dan kebudayaan Sunda; sebab dia merupakan penjelmaan jiwa rancage yang
aktif dan kreatif dalam tradisi sastra Sunda.
Hasan Wahyuatmakusumah
dalam tulisannya tentang Hasan Mustapa (Mangle XXII No. 704, 1979: 9),
menyetujui pendapat Lutfi Abad, Dosen Universitas Malaysia, yang menyebutkan
bahwa pengaruh Ar-Raniri ditemukan dalam karya-karyanya. Pendapat Hasan ini
didasarkan atas riwayat kerja Hasan Mustapa yang pernah memangku jabatan Hoofd
Penghulu Aceh, tempat Ar-Raniri menyebarkan paham agamanya, pada abad 17. Hasan
menduga, selama tiga tahun tinggal di Aceh Hasan Mustapa pernah membaca
karya-karya Ar-Raniri yang jatuh ke tangan Pemerintah Belanda, ketika perang
Aceh berkecamuk.
Di samping itu menurut Hasan,
dalam karya-karyanya Hasan Mustapa tidak mengidentifikasi manusia sama dengan
Tuhan, akan tetapi kemanunggalan manusia dengan Tuhannya diartikan sebagai
kemanunggalan Tuhan Maha Pencipta dan manusia sebagai mahluk yang diciptakan.
Atas dasar tanggapan
dan komentar terhadap karya-karya Hasan Mustapa yang sebagian besar menggunakan
media sastra tersebut, maka karya Hasan Mustapa tidak hanya dianggap sebagai
karya yang mengeksplorasi wacana agama, namun juga sastra. Kedudukannya sebagai
sastrawan di dalam tardisi sastra Sunda sangat mantap. Hal itu didasarkan atas
beberapa alasan, yaitu, pertama, karena di dalam karya-karyanya, dia berpaling
kepada simbol-simbol Sunda untuk mengungkap pengalaman batinnya; kedua, dia
melakukan reinterpretasi terhadap berbagai simbol tersebut. Dengan demikian dia
bukan saja berada dalam tradisi sastra Sunda, akan tetapi menjadi salah seorang
penerus tradisi tersebut. Ketiga, dia memperkaya tradisi sastra Sunda dengan
menyumbangkan tema baru, yaitu tasawuf Islam. Dengan demikian, karena dialah
tradisi sastra Sunda menjadi mutakhir, setara dengan tradisi sastra lain yang
pada abad XX ini memperlihatkan kecenderungan yang kuat untuk menggarap
masalah-masalah metafisik, bahkan menggambarkan pemberontakan metafisik (Camus,
1977: 29-30).
Sebagai seorang yang
berpaling kepada simbol-simbol (tradisional) Sunda, jarang sastrawan yang
mempergunakannya sebanyak dan sebaik dia. Simbol-simbol tradisional sastra
Sunda yang biasa digunakan, terutama terdapat dalam lirik-lirik tembang Sunda seperti
Pajajaran, Galuh, Siliwangi, Mundinglaya, Dewi Asri, Sangkuriang, Dayang Sumbi
dan sebagainya. Di samping simbol-simbol yang lebih jarang dipergunakan oleh
sastrawan-sastrawan lain, seperti Ciung Wanara, Boeh Larang, Sang Rumuhun,
Puhaci Wirumananggay, Aji Saka, Nyi Sepirasa, Parawan Sunti, Cupu Manik
Astagina dan sebagainya.
Namun dia tidak hanya
menggunakan simbol-simbol tersebut, melainkan memberikan tafsiran baru. Di
dalam cerita pantun “Mundinglaya di Kusumah,” dikisahkan bahwa Mundinglaya terpaksa
berpisah dari kekasihnya karena harus mencari Lalayang Salaka Domas ke Ja
Baning Langit (Langit yang lain). Kedua kekasih ini sebelumnya menjadi simbol
dari cinta murni dan kesetiaan, namun dia mempergunakannya untuk tema dan
dengan cara lain. Kerinduan dua kekasih tersebut ditafsirkan sebagai simbol
kerinduan manusia kepada Tuhannya. Demikian pula, dengan Boweh Rarang (kafan
kasar) yang diceritakan dalam legenda-mitologis Sangkuriang sebagai alat yang
digunakan Dayang Sumbi untuk menipu anaknya itu, agar tidak mengawininya. Oleh
dia ditafsirkan sebagai simbol ajarannya. Masih banyak contoh lain yang dapat
dijadikan bukti tentang bagaimana dia mereinterpretasi simbol, untuk
kepentingan kebaharuan pengalamannya sebagai manusia Sunda.
Di samping itu, sebagai
sastrawan kreatif, dia pun menciptakan simbol-simbol baru. Manusia yang telah
menyadari keesaannya dengan Tuhan (ke-ahadiatan), akan menyadari kebebasannya
untuk bertindak dan berbuat. Namun, seperti pendapat kaum eksistensialis, ia
pun menyadari tanggung jawabnya. Di dalam menimbang-nimbang antara tanggung
jawab dan kebebasan ini manusia benar-benar merasakan “kesendiriannya”. Untuk
manusia macam itu dia menciptakan anak yatim piatu (pahatu lalis) sebagai
simbol. Hubungan Tuhan dengan manusia seperti di dalam pandangannya yang
cenderung panteistis, juga diberikan simbol yang sangat tepat, yaitu sebagai
“hubungan rebung dengan bambu.”
Kedudukannya yang
mantapdalam tradisi Sunda adalah karena kemampuannya mengerahkan daya ungkap
dari simbol-simbol sastra Sunda yang tradisional. Kedudukannya sebagai
pengembang tradisi diperlihatkan dengan melakukan reinterpretasi terhadap
berbagai simbol tradisional dan atau mengisinya dengan pengalaman-pengalaman
baru.
Perlu diungkapkan bahwa
kehidupan rohani Sunda (buhun/kuno) tersimpul di dalam karya-karya sastra
pantun Sunda. Di dalam karya-karya tersebut, terutama dalam cerita Mundinglaya
di Kusumah dan Lutung Kasarung, terbayang kosmos manusia Sunda lama. Kosmos
tersebut menempatkan manusia di Buana Panca Tengah (Dunia) yang diurus oleh
Sunan Ambu di Buana Padang. Sunan Ambu mengasihi orang-orang yang baik
(Mundinglaya; Purbasari) dan menghukum orang-orang yang bengis (Sunten Jaya;
Purbararang). Untuk membagikan kasih dan hukuman, Sunan Ambu dibantu oleh
mahluk-mahluk kahiangan yang disebut Bujangga dan Pohaci dan mahluk-mahluk
halus yang menempati tempat keramat, seperti Guriang dan Karuhun-karuhun
(leluhur). Di dalam kosmos yang demikian itulah manusia Sunda lama mendapatkan
ketentuan rohaninya. Dan kosmos inilah yang terus terbayang dalam karya-karya
sastra Sunda lama, dan bahkan dalam karya-karya sastra Sunda modern, khususnya
yang berbentuk Gending Karesmen (Opera Sunda). Dengan datangnya Islam, kosmos
kuno itu dengan sendirinya disisihkan dan diganti oleh kosmos dari agama Islam.
Namun, sebagai ulama yang terpandang, dia tidak mengajarkan kosmos yang umum
(jamak), melainkan menganut dan mengajarkan sebatas tasawuf. Mudah dipahami
kalau karya-karya sastranya berisi pengalaman rohaninya; sebelum dan setelah
penemuan konsep tasawufnya. Dengan sendirinya, renungan-renungan tasawuf
seperti ini merupakan hal yang baru bagi tradisi sastra Sunda.
Walaupun dia, dalam
karya-karya sastranya, menggunakan simbol-simbol tradisional tidak banyak orang
yang memahami karya-karyanya. Hal ini bisa jadi karena yang diungkapkannya
merupakan sesuatu yang baru, atau karena masyarakatnya belum siap. Hal ini,
sebagian, disadarinya. Seperti dengan jelas diungkapkan oleh dia dalam salah
satu bait dari dangdingnya (puisinya):
Kiwari tacan arusum
Nepi ka pamake kami
Sekarang belum saatnya
Sampai (mengerti) kepada ilmu saya
Di samping itu, dia
sendiri tidak dapat mengungkapkan isi hati dan pendapat-pendapatnya secara
bebas. Masyarakat pada masa itu memberikan reaksi yang negatif, hal
terungkapkan dalam dangdingnya yang lain:
Heulanan kuring mundur deui
Tacan tega ka barudak urang
Basana serab pangilo
Matak risi nu sisip budi
Geus tepi ka kitu
Dongkap ka masya Allahna
Kajeun teuing uleh hararemeng galih
Moal matak doraka
Sementara saya mundur lagi
Tidak sampai hati kepada anak-anak
Kata mereka silau
Karena saya demikian
Menyebabkan risau mereka yang berjiwa kecil
(Karena) budi-daya saya
Sudah sampai sedemikian
Sampai mereka mengatakan “masya Allah”
Biarlah (jangan peduli) jangan risau hati
(Karena) tidak akan menyebabkan (saya) berdosa.
Masyarakat pada masa
itu tidak dapat memahami pendapat-pendapatnya, bahkan para sastrawan, termasuk
M.A. Salmun menyatakan ketidakpahaman terhadap karya-karya Hasan Mustapa.
Dapat dipahami kalau pengaruhnya dewasa ini tidak besar,
walaupun tampak gejala-gejala akan semakin besar karena mulai tumbuhnya
perhatian kepada karya-karyanya di kalangan sastrawan (muda) dewasa ini.
- Prof. Dr. M. Syuhudi Ismail
a. Riwayat Hidup
Muhammad Syuhudi Ismail,
lahir pada tanggal 23 April 1943, di daerah Lumajang Provinsi Jawa Timur. Ia
menyelesaikan pendidikan SR (Sekolah Rakyat) yang sekarang dikenal dengan
Sekolah Dasar (SD) di daerahnya sendiri yaitu di Lumajang pada tahun 1955
selama enam tahun. Barulah ia ke Malang untuk melanjutkan pendidikannya di PGA
Negeri (pendidikan Guru Agama), dan dalam empat tahun sudah selesai (1959).
Pada tahun 1962 ia menyelesaikan pendidikan Hakim Islam Negeri selama tiga
tahun di Yogyakarta, dilanjtkan ia menjadi sarjana muda di IAIN Ujung Pandang,
setelah mendapatkan gelar sarjana muda di Ujung Pandang, ia belum cukup puas
untuk mengenyam pendidikan yang lebih tinggi lagi untuk mengasah ilmunya. Ia
kembali ke Yogyakarta dan di tahun 1979 ia menyelesaikan studi purna
sarjananya. Tak sampai di situ, iapun kembali mencari ilmu lagi untuk
mendapatkan gelar S3 di IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang sekarang menjadi
UIN, dan saya baca riwayat hidupnya di salah satu bukunya Pengantar Ilmu Hadits
ia masih menyelesaikan studi S3nya.
b. Peran dalam ilmu hadits
Pengalaman pendidikannya
tak kenal usia seperti salah satu hadits Nabi yang berbunyi:
Artinya: “Mencari ilmu itu wajib bagi umat
muslim laki-laki dan perempuan dari sejak ayunan sampai liang lahat”.
Ia juga pernah diberi kepercayaan untuk
menduduki beberapa jabatan di antaranya: Pegawai Pengadilan Agama Tinggi Negeri
(1962-1970), staf pengajar (LB) IAIN (1967-1970), staf pengajar (tetap) IAIN
(1970-sekarang), dan masih banyak lagi.
c. Karya-karya
Iapun juga menelurkan banyak karya ilmiah dan
buku-buku yang sering digunakan sebagai panduan perkuliahan baik para mahasiswa
maupun pengajarnya. Dan di antaranya adalah:
1) Hadits (Ensiklopedi Islam, Depag, 1985)
2) Hadits Shahih (Ensiklopedi Islam, Depag, 1985)
3) Hadits Hasan (Ensiklopedi Islam, Depag, 1985)
4) Hadits Dha’if (Ensiklopedi Islam, Depag, 1985)
- Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy
a. Riwayat Hidup
Lahir di Lhoksumawe, Aceh Utara 10 Maret 1904.
dalam tubuhnya mengalir darah campuran Arab. Dari silsilahnya diketahui bahwa
ia adalah keturunan ke tiga puluh tujuh dari Abu Bakar Ash Shiddieq. Saat ia
berumur enam tahun ibunya telah wafat, sehingga ia diasuh oleh bibinya yang
bernama Cut Syamsyiyah. Dan mulai umur delapan tahun ia sudah berkelana untuk
nyantri dari pesantren ke pesantren yang lainnya, yang berada di bekas pusat
kerajaan Pasai tempo dulu.
b. Peran dalam hadits
Ia tubuh dengan memiliki sisi menarik dalam
dirinya. Di antaranya adalah:
1) karena ia hanya mengenyam pendidikan di
pesantren, ia tumbuh menjadi seorang yang otodidak. Dan hanya dalam waktu satu
tahun, ia berhasil menamatkan pendidikannya di bangku sekolah Irsyad tahun
1926, dengan basis pendidikan formal itulah ia memperlihatkan dirinya sebagai
seorang pemikir. Kemampuannya sebagai seorang intelektual diakui oleh dunia
internasional. Hal ini dibuktikan dengan diundangnya untuk menyampaikan makalah
dalam International Colloquium yang diselenggarakan di Lahore Pakistan.
2) Ia juga bergerak di ling sendiri di Aceh, yang
masyarakatnya dikenal fanatik, bahkan ada yang menyangka “angker”. Namun ia
pada awal perjuangannya menentang arus. Ia tidak gentar dan surut dari
perjuangannya walaupun ia dimusuhi, ditawan dan diasingkan oleh pihak yang
tidak sepaham dengannya.
3) Dalam berpendapat ia merasa bebas tidak terikat
dengan kelompoknya, ia juga berpolemik dengan orang-orang Muhammadiyah. Iapun
juga berani berbeda dengan jumhur ulama, suatu yang langka terjadi di
Indonesia.
c. Karya-karya
Semasa hidupnya ia menulis 72 judul buku dan 50
artikel di bidang Tafsir, hadits, fiqih dan pedoman ibadah umum. Di antara
karyanya yaitu:
1) Menjelang akhir hayatnya, ia memperoleh dua
gelar Doctor Honoris Causa karena jasa-jasanya terhadap perguruan tinggi Islam
dan perkembangan ilmu pengetahuan keislaman di Indonesia. Satu diperoleh dari
Universitas Islam Bandung (UNISBA) pada tanggal 22 Maret 1975 dan dari IAIN
Sunan Kalijaga Yogyakarta pada tanggal 29 Oktober 1975.