Ideologi
sebagai pandangan hidup berbeda dengan agama. Ideologi bersumber dari hasil
perenungan dan pemikiran yang mendalam seorang manusia sedangkan agama
bersumber dari Allah Tuhan Yang Maha Esa untuk menjadi pedoman hidup manusia.
Demikian kompleksnya hal-hal yang terkandung dalam suatu ideologi, sehingga
mempengaruhi watak tingkah laku penganutnya sehari-hari.
Dalam
organisasi, ideologi merupakan hal yang sangat penting, sebab dari ideologi
itulah nantinya seseorang akan dapat merumuskan strategi perjuangan serta
progam-progam apa saja yang semestinya dicanangkan. Tanpa ideologi, keberadaan
suatu organisasi tak ubahnya seperti kendaraan yang melaju tanpa mengetahui
arah serta tujuan yang akan dicapainya.
Ideologi Aswaja
IPNU-IPPNU
sebagai oragnisasi sayap NU (Banom), secara ideologi tentunya mengikuti organ
induknya, yaitu Nahdlatul Ulama’. Hal ini dikarenakan keberadaan IPNU-IPPNU itu
sendiri adalah untuk mengawal serta menjaring kader-kader muda NU yang umumnya
tersebar diberbagai tempat, di sekolah, pesantren, kampus dan juga di
pelosok-pelosok desa. Kader-kader muda inilah yang nantinya akan meneruskan
estafet kepemimpinan NU di masa depan.
Ideologi
IPNU-IPPNU adalah ideologi Aswaja
(Ahlussunnah wal Jama’ah) yang sering dikonotasikan sebagai ajaran (mazhab)
dalam Islam yang berkaitan dengan konsep 'aqidah, syari'ah dan tasawuf dengan
karakter moderat (tawassuth), seimbang/proposional (tawazun) dan toleran
(tasamuh). Salah satu ciri intrinsik paham ini -sebagai identitas- ialah
keseimbangan pada dalil naqliyah dan 'aqliyah. Keseimbangan demikian
memungkinkan adanya sikap akomodatif atas perubahan-perubahan yang berkembang
dalam masyarakat, sepanjang tidak bertentangan secara prinsipil dengan
nash-nash formal. Ekstrimitas penggunaan rasio tanpa terikat pada pertimbangan
naqliyah, tidak dikenal dalam paham ini. Akan tetapi ia juga tidak secara
apriori menggunakan norma naqliyah tanpa interpretasi rasional dan kontekstual,
atas dasar kemaslahatan atau kemafsadahan yang dipertimbangkan secara matang.
Aswaja
sebagai ideologi IPNU-IPPNU, memposisikan agama (Islam) secara seimbang
(tawazun). Agama tidak hanya diposisikan sebagai institusi pelayanan terhadap
otoritas Tuhan (teosentris) yang dijauhkan dari orientasi pelayanan terhadap
manusia (antroposentris). Tidak pula sebaliknya, agama hanya diposisikan
sebagai institusi sosial yang membatasi perhatiannya pada pelayanan sosial
dengan mengabaikan dimensi ketuhanan. Dalam konteks ini, IPNU-IPPNU mempunyai
pandangan bahwa agama disamping sebagai institusi ketuhanan, ia juga merupakan
institusi sosial yang keduanya ibarat dua mata uang yang tidak dapat saling
dipisahkan, atau dipilih salah satu darinya dengan membuang yang lain.
Ruang Lingkup Perjuangan IPNU-IPPNU
Dengan
corak ideologi yang (pelestarian tradisi NU) sebagaimana yang sementara ini
dipersepsikan sebagian kalangan. Lebih dari itu, lingkup perjuangan IPNU-IPPNU
pada dasarnya juga meliputi hal-hal yang bersentuhan langsung dengan realita
sosial, baik yang berkenaan dengan masalah sosial itu sendiri ataupun
masalah-masalah kebangsaan lainnya. Hanya saja sebagai organisasi kepemudaan
yang berada dalam naungan NU, IPNU-IPPNU lebih menfokuskan perhatiannya pada
masalah-masalah ke “pelajaran” dengan asumsi bahwa para pelajar itulah yang
nantinya akan mengendalikan serta menentukan nasib bangsa ini untuk masa yang
akan datang.
Baik
buruknya bangsa ini erat kaitannya dengan kondisi riil para pelajar saat ini.
Karena itu, keberadaan mereka harus senantiasa mendapatkan pengawalan, baik
melalui pendekatan struktural organisasi maupun pendekatan-pendekatan yang
bersifat kultural.
IPNU-IPPNU sebagai badan otonom termuda NU yang menjadi wadah bagi pelajar,
remaja dan santri NU, memiliki jargon belajar, berjuang dan bertaqwa. Jargon
ini sebenarnya merupakan simplifikasi dari visi besar IPNU-IPPNU, yaitu
terwujudnya pelajar-pelajar bangsa yang bertaqwa kepada Allah SWT, berakhlakul
karimah, menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi, memiliki kesadaran dan
tanggung jawab terhadap terwujudnya tatanan masyarakat yang berkeadilan dan
demokratis atas dasar ajaran Ahlussunnah Wal Jamaah. Visi besar IPNU-IPPNU
tersebut menjelaskan pada kita bahwa ada 3 hal yang sebenarnya menjadi bidikan
utama dari ruang gerak IPNU-IPPNU, yaitu visi
kepelajaran, visi sosial kebangsaan dan visi keislaman.
Dengan
3 visi itulah, IPNU-IPPNU bertekad dan selalu berusaha menjadi organisasi
kepemudaan yang senantiasa menjadi garda depan bagi NU, khususnya di wilayah
pengkaderan dan pengawalan nilai perjuangan NU yakni Islam ala ahlussunah wal
jama’ah, guna membendung pengaruh dari kalangan yang anti terhadap NU, yaitu
mereka yang bangga dengan jargon “bid’ah, kufur dan syirik” nya, dan juga
mereka yang lantang menyuarakan jargon “khilafah”nya . Hal tersebut dilakukan
IPNU-IPPNU melalui upaya-upaya pemberian kesadaran kepada pelajar-pelajar
tentang pemahaman hakikat dari Islam sebagai agama yang rahmat bagi semesta.
Kemudian upaya-upaya pemakmuran masjid dan musholla dengan mengaktifkan
kegiatan tradisi ke-NU-an (Yasinan, Shalawatan dan Ratiban), agar tidak ada
lagi kasus perebutan musholla ataupun masjid NU sebagaimana yang sering
diberitakan.
Ikhtiar
lain yang juga dilakukan oleh IPNU-IPPNU dalam merealisasikan visinya ialah
pemberian kesadaran pada santri-santri pesantren tentang kaidah-kaidah
interkoneksitas antara ilmu agama dan ilmu umum. Hal tersebut sesuai dengan apa
yang telah disampaikan oleh KH. Wahab Hasbullah pada IPNU (termasuk juga
IPPNU). Agar IPNU mampu menjadi media penghubung bagi dikotomi (pemisahan)
keilmuan yang terjadi antara ilmu agama (Pesantren) dan ilmu umum, agar
tercapai suatu keserasian di antaranya. Melalui upaya penyadaran tersebut,
diharapkan nantinya akan lahir dari NU generasi-generasi yang tidak hanya
memiliki bakat (skill) untuk menjadi seorang ustadz atau kiyai, tapi juga
memiliki bakat untuk terjun diberbagai bidang dan profesi, baik hukum,
kenegaraan, kesehatan dan lain sebagainya. Melalui kolaborasi antara ilmu “agama”
dan ilmu “umum” ini juga nantinya diharapkan akan terlahir manusia-manusia yang
tidak hanya memilki SDM yang unggul, tapi juga memiliki nilai-nilai
relegiusitas tinggi yang teraktualisasikan dalam kehidupan sehari-hari.
Demikian
adalah gambaran singkat mengenai lingkup perjuangan serta berbagai ikhtiar yang
dilakukan oleh IPNU-IPPNU untuk ikut berperan aktif dalam dunia kepemudaan dan
kependidikan di Indonesia, agar IPNU-IPPNU bisa menjadi contoh yang baik bagi
generasi muda di masa-masa yang akan datang.
Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama
(IPNU) harus mampu merumuskan ideologi yang terkait dengan kepelajaran.
Ideologi itu penting keberadaannya sebagai upaya agar organisasi berbasis
pelajar NU tersebut mampu merespon persoalan sosial.
Hadir sebagai pembedah buku
karya Arief Rohman tersebut,
intelektual muda NU yang juga seorang aktivis Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII), selama ini ada “ruang”
yang tidak terisi di dalam IPNU. Ia menyebutnya prinsip perjuangan IPNU dalam
dunia pelajar. “Ada
ruang kosong, apa yang menjadi prinsip perjuangan IPNU dalam dunia kepelajaran,
belum ada,” Sehingga, tak bisa disalahkan jika IPNU dewasa ini kurang mampu
merespon persoalan-persoalan sosial yang sedang dihadapi masyarakat. “Misalkan
masalah komersialisasi dan mahalnya biaya pendidikan di Indonesia, IPNU
tidak punya respon,” ungkapnya.
Mustafied
tak menyangkal bahwa IPNU juga memiliki ideologi. Namun demikian, ideologi itu
dikritiknya karena dinilai masih terlalu normatif. “Ideologi IPNU itu masih
terlalu normatif, sama seperti (ideologinya) Ansor, NU sendiri, dan lain-lain,”
Oleh
karena itu, imbuhnya, sebuah
keniscayaan jika IPNU masih tetap ingin eksis, maka harus ada perumusan kembali
ideologi tersebut agar bisa melakukan respon terhadap permasalahan sosial.
“Ideologi IPNU yang sudah ada
harus di-break down ke arah yang menyentuh pada persoalan kepelajaran.
Ibaratnya, bisa nggak kita bilang, kalau ada kader IPNU nggak peduli
sama masalah pendidikan, maka dia bukan ‘umat’ IPNU,” terang Mustafied. Jika
hal itu tidak bisa dilakukan, maka percuma saja berorganisasi. Menurutnya,
berorganisasi dengan pola seperti itu tidak lebih dari sekedar menjalankan
rutinitas semata. Namun demikian, penulis mensyaratkan
perumusan kembali ideologi IPNU tersebut harus melalui kajian yang mendalam,
tidak hanya kajian teks, tapi juga kajian historis (sejarah). Hal itu, katanya,
penting dilakukan agar upaya tersebut tidak terjebak dalam kungkungan teks yang
kaku.
Salah satu hal yang juga
menjadi perhatian penulis adalah munculnya kecenderungan gerakan pemikiran
dari para kaum muda NU, termasuk IPNU yang mengarah pada tiga hal,
yakni gerakan pemikiran yang bersifat liberalistik, sosialistik dan gaya Islam pasca-kolonial.
IPNU-IPPNU adalah organisasi
pelajar yang sejak kelahirannya disiapkan sebagai wadah kaderisasi Nahdlatul
Ulama (NU). Karena itulah agenda kaderisasi menjadi "titik tempur"
utama. IPNU-IPPNU masa depan harus dapat melahirkan kader-kader yang tidak
hanya tangguh secara intelektual dan memiliki keunggulan akhlaq serta terampil
berorganisasi, melainkan juga siap tempur di medan peradaban yang makin kompleks.
Tentu untuk merealisasikan itu,
hal pertama yang mesti kita lakukan adalah penguatan
kelembagaan organisasi. Tak dipungkiri, masa transisi yang kini tengah
dijalani memberikan konsekuensi yang tidak sedikit dalam ranah keorganisasian.
Konseptualisasi IPNU-IPPNU setelah kembali ke pelajar belum selesai.
"Bagaimana IPNU-IPPNU menunaikan tugasnya sebagai organisasi
pelajar?" adalah pertanyaan fundamental yang mesti segera dicari jawabannya.
Ada beberapa
tawaran yang dapat penulis sampaikan.
Pertama, harus
ada iktikad internal untuk melakukan pembenahan organisatoris. Konsekuensi
"kembali ke pelajar" adalah mengembalikan basis organisasi ke sekolah
dan pesantren. Mengembalikan IPNU-IPPNU ke “kandang”nya (sekolah dan pesantren)
menjadi sangat urgen untuk melakukan kaderisasi di kalangan remaja terdidik.
Hal ini berangkat dari kesadaran bahwa pelajar adalah “investasi masa depan”
bagi NU (dan bangsa). Sementara ada kenyataan bahwa pelajar NU sebagai kekuatan
masa depan kini tidak mendapat perhatian yang optimal oleh Nahdlatul Ulama,
terutama dalam hal penanaman nilai dan gerakan. Oleh karena itu dibutuhkan
organisasi yang secara intensif menjadi wadah aktualisasi bagi pelajar dan santri
NU. Akibat tidak adanya perhatian dan pembinaan yang khusus, tidak sedikit
kalangan muda terdidik ini yang mengalami “pembusukan” di tengah jalan.
Untuk merealisasikan agenda
ini, maka IPNU-IPPNU harus "berekspansi" ke sekolah dan pesantren.
Namun tidak cukup dengan begitu saja. Apa yang harus dilakukan setelah masuk
sekolah dan pesantren? Masuknya IPNU-IPPNU ke sekolah dan harus disertai dengan
tawaran yang “mengiurkan” bagi proses pendewasaan siswa. Di sinilah harus ada
revitalisasi peran. Demikian juga di pesantren. Tidak menyelesaikan masalah
hanya dengan “berekspansi” ke lembaga pendidikan tradisional itu. Lebih dari
sekolah, masuknya IPNU-IPPNU ke pondok pesantren dihadapkan dengan tugas yang
cukup berat. Sebagai lembaga pendidikan tertua, pesantren menyimpan potensi
besar dalam keilmuan agama. Jika konsep pengembangan keilmuan agama yang
ditawarkan IPNU-IPPNU di bawah kualitas pesantren, tentu ia menjadi tidak
menarik. Tugas besar lainnya adalah melakukan “perkawinan” intelektual, agar
dunia pesantren tidak saja “melek”, melainkan juga terbuka bagi penguasaan
keilmuan umum. Hal ini menjadi penting sebagai “alat” pembumian keilmuan agama.
Kedua, dari
sini, beranjaklah pada konsekuensi kedua, yaitu membangun gerakan berbasis
keilmuan. IPNU-IPPNU mestinya ditempatkan sebagi organ pengkaderan yang
menekankan pada penguatan intelektualisme kader. Istilah “pelajar” menjadi ikon
sendiri bagai agenda ini. Kegiatan dan aktifitas organisasi mesti dilandasi
dengan basis inteletualisme yang tangguh. Peran yang mesti dimainkan, salah
satunya ditekankan pada peningkatan wawasan dan potensi keilmuan kadernya. Ini
menjadi agenda kultural yang harus terus diperankan. Karena itulah perubahan
orientasi gerakan menjadi niscaya dilakukan. Kecenderungan para kader untuk dipolitisasi
dan mempolitisasi organisasi akan terbendung oleh orientasi keilmuan ini. Hal
ini menjadi makin penting mengingat pendirian IPNU-IPPNU dilatarbelakangi oleh
kebutuhan untuk melakukan penguatan keilmuan generasi muda.
Ketiga,
sebagai organ pelajar IPNU dan IPPNU tentu tidak hanya berkungkung pada
agenda-agenda internal NU. Ia harus disadari sebagai bagian dari gerakan
pelajar di Indonesia. Sejak mula
kelahirannya IPNU-IPNU memang menjadi bagian tak terpisahkan dari gerakan kaum
terpelajar yang mewarisi tradisi perlawanan terhadap kolonialisme, dalam bentuk
apapun. Berangkat dari kesadaran inilah sudah saatnya IPNU bersama IPPNU
membangun strategi gerakan yang jitu dalam menunaikan amanah kepelajarannya.
Salah satu agenda menonjol yang mesti dilakukan adalah advokasi pelajar dan
pendidikan.
Secara kultural, advokasi
kepelajaran dilakukan dengan melakukan pendampingan terhadap para pelajar dalam
menapaki tugasnya sebagai pelajar dan membentenginya dari arus pembusukan. Pada
saat yang sama, secara struktural IPNU juga harus melakukan advokasi
pendidikan. Agenda ini harus dilakukan karena meskipun “zaman” telah berubah,
masih terlalu banyak kebijakan pendidikan kita yang merugikan dan tidak memihak
rakyat kecil, dari biaya pendidikan yang melangit sampai yang belakangan sedang
ramai adalah Ujian Nasional (UN) yang tidak adil. Orde baru memang telah
berlalu, tapi masih terlalu banyak “warisan” yang kita tanggung. Karena itulah
berbagai kebijakan yang saat ini sudah tidak populer dan tidak relevan dengan
demokratisasi harus dilawan.
Tentu, “perlawanan” ini
dan semua agenda-agenda di atas dilandasi komitmen ideologis yang kuat. Karena
itulah penguatan basis ideologi menjadi hal yang tak dapat ditawar lagi.
Sebagai bagian integral dari kultur dan struktur NU, segenap gerak langkah dan
“ideologi” IPNU-IPPNU harus tetap berada dalam bingkai besar ahl al-sunnah wa
al-jama'ah, atau yang kerap disebut dengan "Aswaja".
Orientasi
Pengembangan IPNU Kedepan
a.
Penguatan
kelembagaan
Ketidak jelasan bidang
garap IPNU dalam ranah kaderisasi NU dimulai ketika kongres Jombang memutuskan
akronim ‘P’ berubah dari pelajar ke putra. Akan tetapi hal ini tidak dapat
disalahkan, karena Orde Baru sebagai jelmaan kekuasaan militer di Indonesia, pada
saat itu sedang dalam posisi ‘On Power’ maka kemudian setiap potensi yang
dianggap mengganggu akan disingkirkan kalau perlu ditumpas. kebijakan kebijakan
yang bernuansa hegemonik mulai diterapkan, termasuk UU no 8 th 1985 tentang
keormasan, dilanjutkan munculnya SKB 3 Menteri yang melakukan pelarangan
organisasi di tingkat sekolah selain OSIS dan Pramuka.
Deklarasi makasar dan
ditetapkannya keputusan di Kongres Surabaya
yang menyatakan perubahan nama dari ‘Putra’ ke ‘Pelajar’ merupakan titik balik.
Pilihan kembali kepelajar adalah bentuk kesadaran kritis IPNU terhadap kondisi
kaderisasi yang ada di tubuh Nahdlatul Ulama dan berbagai problem bangsa
kontemporer.
Empat tahun sudah
pilihan dijatuhkan, akan tetapi fokus gerakan IPNU belum sepenuhnya terkonsentrasikan
didunia pelajar dan santri. Sekali lagi pemakluman yang harus disampaikan untuk
kasus ini karena secara utuh pembagian wilayah kaderisasi di NU juga carut
marut!!! Bagaimana mungkin dalam rentang usia yang panjang (20 – 29 tahun) dua
badan otonom diberi kewajiban melakukan kaderisasi atau malah berebut satu sama
lain??? Apalagi oleh dua badan otonom, yang satu ‘pelajar’ dan yang satu
‘pemuda’, aneh bukan?. Dalam bahasa matematika, ‘irisan’ wilayah kaderisasi
inilah yang perlu dirapikan.
Memperdebatkan hal
diatas memang harus, akan tetapi hasil yang diharapkan tidak bisa dicapai dalam
waktu singkat. Sambil menunggu proses, kesadaran akan fungsi organisasi kiranya
menjadi solusi atas problem di atas. Ya!!! Mencurahkan seluruh potensi yang ada
di organisasi untuk lebih fokus ke pelajar dan santri saya kira pilihan
rasional. Disiplin gerak adalah kunci agar dari waktu ke waktu karya yang
dilakukan dapat diukur, dievaluasi dan kemudian dicarikan solusi
pengembangannya dikemudian hari.
Pembenahan di wilayah administrasi dan manajemen organisasi juga menjadi PR
seluruh elemen yang terlibat dikepengurusan IPNU di semua tingkatan. Karena
organisasi bekerja dan bergerak berdasarkan catatan administrasi yang ada dan
penataan manajemen yang dilakukan. compang camping, semrawut, atau bahkan tidak
ada catatan sama sekali, menjadi temuan yang umum ketika kita membuka-buka catatan
administrasi yang dilakukan pengurus IPNU. Baik itu data base organisasi, surat masuk, surat
keluar, agenda yang sudah dilakukan ataupun agenda yang akan dilakukan, bahkan
jumlah anggota yang dimiliki juga tidak dimiliki. Bagaimana mungkin kita mau
menyusun program kerja, kurikulum kaderisasi dan strategi pengembangan
organisasi yang utuh dan rasional apabila data yang dipakai adalah asumsi atau
bahkan palsu.
Kurangnya disiplin gerak
dan kacaunya sistem administrasi organisasi memberi dampak pada lemahnya
kurikulum kaderisasi, ketidak tertiban tahapan kaderisasi (formal dan non
formal ) yang dilakukan dan kacaunya pembagian kerja diantara pengurus,
sehingga kemampuan manajemen organisasi bagi pengurus tidak dapat didesain dan
diukur lewat proses kaderisasi yang ada dalam organisasi.
b.
Penataan
infrastruktur organisasi
Kepengurusan IPNU ada
mulai dari Pimpinan Pusat, Pimpinan Wilayah, Pimpinan Cabang, Pimpinan Anak
Cabang, dan sampai Pimpinan Ranting dan Komisariat. kondisi dimasing masing
daerah dan tingkatan berbeda satu sama lain. Banyak hal yang mempengaruhi
kondisi ini, baik itu kultur masyarakatnya, kinerja pengurus, dan dukungan dari
stakeholder yang ada (NU, Ansor, Maarif, Pondok Pesantren, Pemerintah daerah
setempat dll.)
Globalisasi semakin
menenggelamkan semangat kolektif bangsa Indonesia, sehingga kesadaran
berorganisasi ditingkat masyarakat juga semakin rendah. Dampak yang muncul bagi
IPNU adalah terjadi pasang surut organisasi disemua tingkatan. Langkah yang
bisa dilakukan untuk mengantisipasi hal ini adalah :
1. Melakukan
reorganisasi bagi kepengurusan yang sudah habis periodesasinya.
2. Revitalisasi
organisasi di semua tingkatan yang kepengurusannya kurang jalan.
3. Membentuk
kepengurusan IPNU di daerah yang belum terbentuk.
4. Disiplin
pada aturan organisasi
5. Ketaatan
pada instruksi organisasi
c.
Kepemimpinan
issue kepelajaran
Sebagai organisasi
pelajar, IPNU selama ini belum maksimal memerankan dan mencerminkan sebagai
organisasi pelajar. Walaupun di dalam keanggotaan dan kepengurusan banyak yang
(maaf) sudah ‘kedaluwarsa’ untuk disebut sebagai pelajar, akan tetapi
merumuskan issue strategis ke-pelajar-an dalam setiap nafas kegiatan IPNU yang
dibuat adalah keharusan. Hal itu dilakukan untuk senantiasa mengingatkan
jatidiri organisasi IPNU sebenarnya.
Tugas terberat sekarang
adalah bagaimana disetiap daerah setiap ada persoalan yang berkaitan dengan
pelajar, IPNU menjadi organisasi yang pertamakali merespon, atau minimal
terlibat dalam merespon persoalan tersebut. Perlu kerja ekstra keras memang,
karena kita semua harus sering mengikuti perkembangan informasi, berdiskusi,
dan merumuskan solusi alternatif yang bisa kita tawarkan untuk menyelesaikan
masalah pelajar yang terjadi di sekitar kita. Semoga !!!.
Hal yang harus segera
dilakukan adalah membuat IPNU sebagai organisasi yang memberi pelayanan dan
manfaat bagi pelajar, tidak sedikit masalah yang dihadapi oleh pelajar
misalnya, keterbatasan sarana belajar, kekurangan biaya sekolah, hilangnya
motivasi belajar, masalah antar pelajar maupun antara pelajar dengan guru,
antara pelajar dengan lingkungan ataupun dengan orang tua dll. Belum lagi
ancaman bagi pelajar yang bersifat jangka panjang, misalnya NARKOBA, Free Sex,
perdagangan anak dan pelacuran yang melibatkan pelajar.
Alternatif yang bisa
IPNU lakukan antara lain fasilitasi peningkatan prestasii belajar (misalnya
kelompok belajar / studi club dan lembaga bimbingan belajar) dan pembentukan kelompok
yang bersifat kegemaran (olahraga dan seni). Apabila kita dapat konsisiten
dalam kepemimpinan issue pelajar, maka setiap ada pelajar yang memiliki
ketertariakan untuk terlibat aktif di organisasi, maka IPNU akan senantiasa
menjadi tujuan dan pilihan utama bagi pelajar untuk bergabung.
d.
Pengembangan
di remaja masjid
Globalisasi merupakan
edisi baru ekspansi modal internasional ke seluruh pelosok bumi. Apapun akan
dipakai untuk satu tujuan yaitu keuntungan sebesar besarnya bagi perusahaan
internasional (Trans National Corporation / Multinational Corporation). Indonesia
dengan potensi sumberdaya alam dan pangsa pasar yang sangat besar (jumlah
penduduk 200 juta lebih), menjadi wilayah strategis untuk dijadikan ’ajang
pertarungan’ bagi modal Internasional.
Menggelola remaja masjid
sebagai basis organisasi IPNU di tingkat ranting juga sebagai pilihan strategi
ketika kita memutuskan kembali ke Pelajar, akan tetapi secara Infrastruktur
kaderisasi (guru, kurikulum, strategi) yang kita miliki untuk masuk ke sekolah
terutama sekolah umum belum memadai dan masih kalah jauh dibandingkan dengan
organisasi lain (PII, IRM, dan KAPPI). Pelajar atau remaja akan tertarik pada
suatu kegiatan atau aktifitas apabila kegiatan tersebut memberi kontribusi bagi
pengembangan dirinya, memberi tantangan, menyenangkan, dan variatif. Tantangan
kita sekarang adalah bagaimana kita mampu menjadikan organisasi remaja masjid
menjadi organisasi yang menarik bagi setiap remaja Islam yang ada di sekitar
masjid. Sanggupkah???
Untuk merealisasikan
agenda ini, maka IPNU harus "berekspansi' ke sekolah dan pesantren. Namun
tidak cukup dengan begitu saja. Apa yang harus dilakukan setelah masuk sekolah
dan pesantren? Masuknya IPNU ke sekolah dan harus disertai dengan tawaran yang
"menggiurkan" bagi proses pendewasaan siswa. Di sinilah harus ada
revitalisasi peran.
Demikian juga di
pesantren. Tidak menyelesaikan masalah hanya dengan "berekspansi" ke
lembaga pendidikan tradisional itu. Lebih dari sekolah, masuknya IPNU ke pondok
pesantren dihadapkan dengan tugas yang cukup berat. Sebagai lembaga pendidikan
tertua, pesantren menyimpan potensi besar bagi keilmuan agama. Jika konsep
pengembangan keilmuan agama yang ditawarkan IPNU di bawah kualitas pesantren,
tentu ia menjadi tidak menarik.
Dari sinilah harapan
IPNU menjadi organisasi gerakan pelajar menjadi mungkin. Tanpa kekuatan
ideologi yang dimilikinya, mustahil sebuah gerakan bisa dilakukan dengan baik. Ikhtiar
membangun masa depan IPNU yang visioner, menurut penulis, mesti diawali dengan
penguatan basis idelogis yang kokoh. IPNU yang diharapkan menjadi organ pelajar
yang penting dalam konstelasi gerakan pelajar di Indonesia sangat mungkin melakukan
hal itu. Sebagaimana NU yang telah memiliki pengakuan dan reputasi yang besar,
sebagai anak kandungnya IPNU wajib meneruskannya dengan menyelamatkan tradisi
dan menancapkan ideloginya di tengah perubahan masyarakat yang dahsyat ini. Penguatan
basis idelogis ini akan membuat kerja-kerja IPNU baik dalam ranah pengembangan
organisasi, pengaderan, advokasi, maupun tugas-tugas kultural lain, akan
mungkin dilakukan. Setelah basis idelogis ini dikuatkan, tugas selanjutnya
adalah merancang kerja-kerja peradaban yang lebih luas.
Salam
Pelajar………………..!!!!!!!!!
Semoga Sukses Selalu,,,
Amiennnn…………